www.okenews.net: Opini & Artikel
Tampilkan postingan dengan label Opini & Artikel. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Opini & Artikel. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 30 Mei 2020

Kultur Wasathiyah Bangun Panggung Dasar Negara

(Pembacaan Sikap Moderasi Islam Dalam Proses Membidani Pancasila)

Dr. Jamiluddin, M.Pd
SEJARAH bertutur panjang tentang kearifan para pejuang. Dari usaha perlawanan, perjuangan. Pergerakan, prepare, hingga proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, tercatat secara apik dalam catatan sejarah bangsa kita. Salah satu catatan penting dan seksi dalam sejarah pejuang kita adalah proses membidani Dasar Negara. Dalam proses itu ada gelar wawasan intelektualitas, ada kepentingan aliran, ada perdebatan, dan sekaligus ada sebuah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan.

Gelar wawasan intelektualitas hadir ketika para pejuang berusaha menjawab kegalauan warga bangsa mencari formula Dasar Negara yang patut, tepat, dan merefresentasi warna-warni Nusantara. Siklus pencarian ini tidak mudah. Ragam warna-warni Nusantara menjadi pemicu kepentingan aliran yang diusung pengikutnya. Perdebatan menjadi ramai mengemuka. Semakin tak mudah dan menantang jika variable mainstream-minoritas menjadi varian yang dilibatkan.

Betapa tak mudahnya siklus pencarian itu, tetapi faktanya Dasar Negara berhasil dibidani melalui proses kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawatan perwakilan. Dalam sesi inilah siklus pencarian Dasar Negara ini seksi diurai. Bayangkan saja proses elaborasi kepentingan aliran yang sedemikian banyak ditambah realitas mainstream-minoritas sebagaimana diuraikan di atas. Tentu ada seni meramu nada gagasan yang bertangga, ada kapasitas komunikasi politik yang mendorong koalisi, ada kultur integritas untuk mempertahankan keutuhan, dan yang terpenting adalah adanya akhlak mulia yang berperan dalam elaborasi kepentingan tesebut.

Semua prosesi pencarian akan elok dan nikmat disuguhkan bila proses elaborasi kepentingan dalam pencarian Dasar Negara tersebut di-searching dan dikaji melalui teknik pembacaan yang seksama dan menggunakan muqarrobat (pendekatan) yang tepat.  Selain itu, rangkaian penuturan akan lebih menggigit atau nendang jika author (penulis) dalam posisi outsider.

Ketika kita ingin fokus pada keinginan memastikan dominanya akhlak mulia yang berperan dalam elaborasi kepentingan pada penetapan Dasar Negara, maka kita harus membongkar sisi mainstream-minoritas dalam setiap perjumpaan atau sidang-sidang yang diselenggarakan untuk hal tersebut. Kalau kita membidik mainstream variable, maka profil demografi pada awal abad 20 haruslah ditelisik.

Pada awal abad 20 atau sekitar tahun 1900-1945, Kebangkitan Islam (Islamic Resugence) di Nusantara cukup mencolok. Islamic Resugence ini ditandai dengan bermunculannya organisasi kemasyarakatan Islam. Di antara organisasi kemasyarakatan tersebut adalah 1). Pendirian Nahdlatul Wathan di Jawa Timur, 2). Sarekat Islam pada tahun 1911 yang pada awalnya memiliki embrio bernama Sarekat Dagang Islam yang didirikan tahun 1905 oleh H. Samanhudi, 3). Lembaga Pendidikan Djami’at Chair Jakarta berdiri tahun 1905, 4). Penerbitan Majalah Al-Imam pada tahun 1906, 5). Penerbitan Majalah Al-Munir di Padang pada tahun 1911, Pendirian Muhammadiyah di Yogyakarta pada tahun 1912, 6). Pendirian Nahdlatul Ulama di Jawa Timur pada tahun 1926, 7). Pendirian Madrasah NWDI di Lombok pada tahun 1936, 8). Pendirian Madrasah NBDI di Lombok pada tahun 1942, 9). Kerabatan atau paguyuban kesultanan maupun raja-raja di Sulawesi, Maluku, Kalimantan, Bima, Sumbawa, dan lain-lain.

Data-fakta di atas menunjukkan bahwa profil demografi Nusantara awal abad 20 didominasi oleh penduduk beragama Islam.  Artinya, Islam ketika itu menjadi mainstream di Nusantara. Sebagai sebuah mainstream, tentu Islam memiliki peluang mewarnai Nusantara, setidak-tidaknya “menghijaukannya” dengan sesejuk mungkin. Dalam konteks yang kita bahas ini, sangat mungkin mainstream Islam dalam menggagas Dasar Negara akan lebih mengerucut pada Ide Dasar Ke-Islaman. Artinya, Islam sangat berpeluang menggiring warga bangsa untuk memilih Dasar Negara yang akan melahirkan terbentuknya khilafah atau Negara Islam.

Peluang-peluang yang dimiliki mainstream Islam sebagaimana uraian di atas tidak diikhtiyarkan sepenuhnya. Ruang-ruang untuk minoritas dirawat dan dijaga dengan semangat tasamuh (toleransi). Perlakuan ini kemudian menghadirkan rasa aman dan nyaman bagi kelompok minoritas. Dengan hadirnya rasa aman dan nyaman, kelompok minoritas akhirnya mendedikasikan diri dengan penuh kesadaran dan integrasi yang sulit dikoyak.

Realitas Islam sebagai mainstream yang tidak “pasang badan” untuk memastikan berlakunya The survival of fittest (yang kuat pasti menang), adalah kelapangan hati tokoh-tokoh Islam atau nasionalis yang beragama Islam dalam menggagas ide rumusan Dasar Negara yang universal. Muhammad Yamin pada Sidang BPUPKI tanggal 29 Mei samapi 1 Juni 1945 dengan kapasitas intelektualitas yang tak diragukan dan didorong oleh hati yang tulus mengajukan rumusan Dasar Negara yang tindak tendensius Islami (green). Demikian pula Prof. Dr Soepomo dan Ir. Soekarno. Rerata mereka layaknya seorang yang lepas dari pasungan kepentingan kelompok dan perseorangan mengusung Peri Kebangsaan, Peri Kemanusiaan, Peri Ketuhanan, Peri Kerakyatan dan Kesejahteraan Rakyat sebagai rumusan Dasar Negara yang oleh Ir. Soekarno menyebutnya sebagai Pancasila dalam pidatonya yang berjudul “Hari Lahirnya Pancasila” di dalam sidang BPUPKI tanggal 1 Juni 1945.

Untuk memformulasikan rumusan Dasar Negara sebagaimana digagas oleh para tokoh bangsa tersebut, BPUPKI kemudian membentuk Panitia Sembilan yang beranggotakan: Ir. Soekarno, Drs. H. M. Hatta, M. Yamin, Mr. Ahmad Subarjo, Mr. AA. Maramis, Abdul Kahar Muzakkar, Wahid Hasyim, H. Agus Salim, dan Abi Kusno Cokrosuyoso. Dengan kepiawaian Panitia Sembilan, terkonstruklah rumusan Pancasila Dasar Negara yang dikenal dengan sebutan Jakarta Charter (Piagam Jakarta).

Rumusan intaj (hasil) kerja Panitia Sembilan dalam  Jakarta Charter adalah sebagai berikut: Pancasila. 1). Ketuhanan Yang Maha Esa Dengan Kewajiban Menjalankan Syari’at Islam Bagi Pemeluknya, 2). Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradab, 3). Persatuan Indonesia, 4). Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan Perwakilan, 5). Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.

Jakarta Charter dalam tinjauan politik yang berkeadilan sesungguhnya sudah patut dan teapat. Namun demikian akhirnya menjadi debatable. Tujuh kata pada sila pertama setelah Kalimat Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi pusat perhatian.  Secara objektiv kalimat “Dengan Kewajiban Menjalankan Syari’at Islam Bagi Pemeluknya”  mengandung makna pengecualian sekaligus pengkhususan dalam penyelenggaraannya. Jadi, bagi non muslim tidak akan terusik oleh adanya tujuh kata di atas. Namun demikian, ketika tujuh kata ini tergugat pada siding PPKI dalam rangka penetapan UUD 1945 sebagai konstitusi Negara tanggal 18 Agustus 1945, kelompok muslim mengikhlaskannya untuk dihapus. Tidak sekedar itu, bahkan yang ditinjuk sebagai juru bicara dalam pengajuan penghapusan tujuh kata itu adalah Drs. H. M. Hatta, yang tidak diragukan ketokohan secara pribadi sebagai seorang muslim taat lagi soleh.

Kelapangan data kelompok muslim dalam proses perumusan Dasar Negara hingga perubahan hasilnya yang tertuang dalam Jakarta Charter adalah hal yang mengalihkan hampir seluruh perhatian warga bangsa, baik nasional maupun dunia internasional. Pendorong semua perhatian tertuju padanya adalah prrtanyaannya sederhana saja, yakni: “Semudah itukah?”

Fakta atau realita yang tercatat dalam sejarah memang kelapangan dada kelompok muslim menerima Dasar Negara Pancasila sekaligus perubahan tujuah kalimat pada sila pertama sebagaimana tetera dalam Jakarta Charter memang sedemikian adanya. Bukan karena kelompok muslim adalah negosiator yang lemah tetapi justeru menjadi bagian warga bangsa yang sangat kuat mengendalikan diri. Kelompok Muslim sebagai mainstream berhasil “merdeka” dari borgol keserakahan dan kesewenang-wenangan.

Sikap yang sedemikian agung dan mencengangkan hingga banyak pihak yang harus stand ovation bukan lahir begitu saja. Sikap ini adalah sebuah keyakinan yang menjadi bagian ajaran Islam yang ya’lu wala yu’la alaih. Inilah yang disebut sikap “Tasamuh” (toleransi). Sikap ini tidak berdiri sendiri tetapi terkonstruk oleh penetapan Islam dan ummatnya oleh Alloh Ta’ala sebagai Ummatan Washaton (ummat yang adil), sebagaimana dalam Firman Alloh pada QS Al-Baqoroh Ayat 143. 

Penetapan Alloh inilah yang kemudian mengkonstruk pribadi setiap muslim yang taat, khususnya pada saat penetapan Dasar Negara dan perubahan isi sila pertama pada Jakarta Charter (Piagam Jakarta), termasuk para tokoh muslim yang menjadi perwakilan kelompok muslim pada ketika itu. Kepribadian hebat itu akhirnya tidak hanya sebagai aplikasi aspek keimanan, tetapi mendarah daging hingga menjadi kultur yang di era disruption ini dikenal dengan multiculturalism. Wallohu’alamu.


Penulis adalah Sekretaris Lajnah Kaderisasi PBNW dan Tenaga Pendidik di SMA NW Pancor, Lombok Timur Nusa Tenggara Barat

Jumat, 22 Mei 2020

Korona: Stay At Home Perintah Rasulullah Saw

Oleh: Siti Raihanun (Mahasiswa Prodi Tadris Fisika UIN Mataram)

Belakangan ini paling hangat diperbincangkan warga global adalah mengenai virus corona. Hal ini terjadi karena virus tersebut sangat mudah menyangkiti dan sudah tersebar di hampir seluruh Negara. Virus corona yang pertama kali ditemukan di Wuhan, China pada akhir tahun lalu. Sementara Pemerintah Indonesia sendiri mengumumkan adanya kasus covid-19 dari bulan Maret 2020, dan telah ditetapkan sebagai pandemik global oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).

Coronavirus atau virus korona merupakan keluarga besar virus yang menyebabkan infeksi saluran pernapasan, gejala yang timbul akibat virus ini ialah hidung beringus, sakit kepala, batuk, sakit tenggorokan, demam dan merasa tidak enak badan. Namun hal yang perlu saya tegaskan beberapa virus corona dapat menyebabkan gejala yang parah, infeksinya dapat berubah menjadi bronchitis dan pneumonia yang mengakibatkan gejala seperti, demam yang mungkin cukup tinggi, batuk dengan lender, sesak napas dan nyeri dada. Infeksipun bisa semakin parah jika yang terjangkit adalah orang yang sudah memang mempunyai penyakit jantung atau paru-paru, dan pada orang yang sistem kekebalan tubuhnya lemas seperti bayi dan lansia.

Pemerintah kita di Indonesia pun menganjurkan kepada masyarakat berbagai kegiatan yang harus kita lakukan untuk mencegah tertularnya dari virus korona ini, seperti sering mencuci tangan, hindari kontak dekat dengan orang lain, menggunakan masker, menghindari menyentuh mata, hidung dan mulut, menghindari kerumunan, menghindari berjabat tangan. Selanjutnya kita harus tetap berada di dalam rumah, dan pemerintah pun sudah menerapkan atau menganjurkan physical distancing untuk kita atau seluruh warga Negara guna memutus rantai penyebaran virus ini. Physical distancing adalah pembatasan fisik atau menjaga jarak guna mengendalikan atau menghentikan penyebaran penyakit penularan virus ganas itu.
           
Jika menelusuri sejarah di zaman Rasulullah Saw pernah muncul sebuah wabah yang menular dan mematikan, yaitu wabah kusta yang melanda masyarakat Madinah. Dalam suatu riwayat disampaikan bahwa Rasulullah Saw meminta masyarakat untuk menjauhi penderita kusta. Imam Bukhari meriwayatkan hadist dari Abu Hurairah dari Nabi Saw beliau bersabda: ”Menyingkirlah dari orang-orang yang berpenyakitan kusta, seperti kamu menyingkir dari singa". Dan dalam riwayat lain, Rasulullah Saw memberikan batasan yang tegas agar kita menjaga jarak dari penyakit kusta. Selanjutnya Rasulullah Saw besabda: “Berbicaralah dengan orang yang berpenyakit kusta dalam jarak kira-kira satu tombak atau dua tombak".

Jadi sebenarnya, jaga jarak untuk menghindari penyakit menular sudah ada sejak lama. Rasulullah SAW pernah menerapkan hal ini. Rasulullah juga menganjurkan untuk isolasi bagi yang sedang sakit dengan yang sehat agar penyakit yang dialaminya tidak menular kepada orang lain. Hal ini dapat kita lihat dalam hadist Rasulullah yang artinya: “Janganlah yang sakit dicampurbaurkan dengan yang sehat” (HR Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah). Dalam Hadist lain Rasulullah Saw juga menjelaskan mengenai penanganan suatu wabah, Rasulullah Saw bersabda: ”Jika kamu mendengar wabah di suatu wilayah, maka janganlah kalian memasukinya.Tapi jika wabah di tempat kamu berada, maka jangan tinggalkan tempat itu”.
         

Pada  masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab juga yaitu pada abad ke 18 hijriyah, pernah terjadi serangan wabah yang paling berat yaitu wabah awamas atau penyakit thaun. Kenapa wabah ini dikatakan awamas atau thaun karena pusat wabah itu ada di kampung kecil yang bernama Amawas. Wabah ini telah menewaskan puluhan ribu orang, termasuk para sahabat Rasulullah Saw. Selanjutnya Amr bin Ash menggantikan gubernur sebelumnya yaitu Ubaidah bin Jarrah dan Muaz bin Jabl yang meninggal karena wabah ini. Selang beberapa waktu Amr bin Ash mengatkan bahwa wabah itu seperti api "selama masih ada kayu bakar dia akan terus menyala". Artinya adalah selama masih ada orang yang sehat, wabah akan terus menyebar dan kemudian Amr bin Ash memutuskan untuk meminta warga yang sehat untuk menyingkir ke bukit-bukit atau dalam istilah yang kita kenal sekarang ialah physical distancing.
         

Dari pembahasan di atas, maka sangat penting bagi kita untuk menjaga jarak aman saat berinteraksi dengan penderita penyakit menular seperti wabah pada saat ini, atau istilahnya melakukan physical distancing, karena social distancing atau physical distancing merupakan cara yang efektif untuk mengehentikan persebaran wabah penyakit menular baik itu wabah thaun, kusta maupun wabah korona. Namun perlu kita ketahui, setiap sesuatu yang terjadi pasti ada hikmahnya begitupun dengan wabah korona ini, mungkin dengan adanya virus ini kita menjadi lebih menjaga kebersihan, membuat kita selalu full time bersama keluarga dan sebagai penguji keimanan kita.
           

Dalam hal tersebut marilah kita belajar meneladani cara Rasulullah dalam menghadapi penyakit menular atau wabah virus  dan mari kita mengikuti instruksi atau anjuran pemerintah demi kebaikan bersama. Sekarang berdiam diri di rumah akan sangat berguna untuk seribu tahun ke depan.

Selasa, 19 Mei 2020

Belajar Online Ditengah Pandemi Virus Corona Bikin Mahasiswa Merana

Oleh : Paramita Putri Apriyani
(Mahasiswa Prodi Tadris Fisika UIN Mataram)
Pandemi corona virus disease (covid-19) membuat Negara kita Indonesia melakukan lockdown di berbagai daerah. Kebijakan yang begitu ketat itu dilakukan untuk menghambat penyebaran Covid-19.

Kebijakan pemerintah itu diterapkan untuk melindungi masyarakat dari virus tersebut dengan cara bekerja di rumah, belajar di rumah, dan beribadah di rumah, agar menjauh dari keramaian yang bisa membuat virus ini cepat menyebar.

Konteks pendidikan, dampak virus corona membuat semua kampus di Indonesia diliburkan sehingga sistem perkuliahan diganti dengan menggunakan sistem dalam jaringan yabg populer disebut belajar daring. Salah satunya kampus Universitas Islam Negeri  (UIN) Mataram yang awalnya mahasiswa sangat senang karena bisa di rumah sambil belajar dengan mudah, tetapi kenyataannya mahasiswa harus belajar melalui online.

Namun demikin, hal yang dialami oleh hampir semua mahasiswa adalah tugas yang justru makin menumpuk selama perkuliahan online, ditambah lagi tidak adanya jeda antara mata kuliah satu dengan yang lain, mengkibatkan mahasiswa menjadi tidak fokus mengikuti perkuliahan dikarenakan jadwal kuliah yang tidak sistematis.

Jika dibandingkan dengan kuliah secara langsung atau bertatap muka lebih mudah dosen menjelaskan membuat mahasiswa bisa mengerti dan tidak terlalu banyak tugas dari pada belajar melalui online, walaupun sudah dijelaskan oleh dosen melalui grup WhatsApp tetap saja sebagian mahasiswa kurang mengerti.

Pihak Kampus telah meliburkan mahasiswa selama 14 hari dan hal itu sudah berlalu, namun muncul lagi surat edaran baru yang menyatakan libur diperpanjang oleh pihak kampus sampai Juni mendatang. Hal ini menimbulkan masalah baru bagi mahasiswa karena perkuliahan dengan belajar melalui online tidak kunjung berhenti.

Pemerintah menghimbau, jika kesadaran masyarakat sama dengan upaya yang dilakukan pemerintah, puncaknya akan berakhir Juni mendatang. Namun maksud dari puncak ini hanyalah lampiran data jumlah yang positif covid-19, meninggal, dan sembuh. Pertanyaan nya, apakah virus ini akan hilang setelah itu? Tentu tidak. Hal ini akan terus berlangsung jika kita TIDAK MEMATUHI PERATURAN PEMERINTAH  yang harus tetap di rumah saja dana hal itu cepata menyebarkan virus.

Sebenarnya kami mempunyai banyak keluh kesah tentang belajar melalui online, bagaimana tidak karena banyak tugas yang diberikan dosen setiap pertemuan atau setiap hari nya, tidak pernah ada dalam seminggu membuat mahasiswa beristirahat malah banyak diberikan tugas. Mahasiswa juga harus mengerjakan tugas rumah mereka seakan kami kewalahan yang mana yang harus didahulukan antara tugas dosen atau perintah ibu, belum lagi teman-teman yang tinggal di daerah yang jaringan sangat minim yang membuat mereka harus mencari sinyal untuk mengirim tugas. Itu juga bisa membuat mahasiswa stres.

Sebenarnya dalam wabah ini seseorang tidak boleh terlalu stres bisa membuat Daya tubuh menurun dan bisa membuat virus cepat masuk dalam tubuh. Terlebih media juga membesar-besarkan berita virus corona ini. Angaka kematian bisa di manipulasi untuk menyebar ketakutan. Bisa saja orang yang meninggal karena sakit lain dikatakan meninggal karena virus ini.

Kami tentu sangat menghargai setiap dosen pengampu  mata kuliah, dan saya yakin mereka juga berpikir demikian dan mencari segala cara agar kami tetap mendapatkan pembelajaran seperti biasanya di tengah kondisi sekarang. Kami juga sebagai mahasiswa tidak boleh terlalu mengeluhkan keadaan karena setiap dosen yang memberikan tugas juga mempertimbangkan dengan baik dan memberikan toleransi pengerjaan tugas kuliah.

Saat ini, yang bisa kita lakukan hanyalah berdoa agar virus ini cepat berlalu. Karena pemerintah indonesia juga kewalahan dalam mengambil langkah yang tepat. Marilah kita saling bekerjasama untuk memerangi virus ini, pemerintah mengatur dan masyarakat mentaati peraturan. Dan kita bisa kembali belajar secara normal dan berinteraksi dengan teman-teman.

Senin, 18 Mei 2020

“MENDIALOGKAN AYAT-AYAT KEBANGKITAN NASIONAL”

(Trigger Kesadaran Kolektif dan Sikap Tajdid Dalam Melawan Covid 19 Melalui Pemahaman Spirit 20 Mei Dalam Perspektif Islam)

Oleh: Dr. Jamiluddin, M.Pd
Sekretaris Lajnah Kaderisasi PBNW dan Tenaga Pendidik di SMA NW Pancor

Perbincangan atau pun telaah tentang sejarah Kebangkitan Nasional bukan suatu yang baru kalau tidak boleh dibilang lawas. Karena itu sudah biasa dikonsumsi dan akibatnya nyaris tidak menarik. Bukan karena pesan-pesan rasa kebangsaannya, tetapi karena peta perbincangan tentang hal tersebut selalu berulang. Tidak ada sajian-sajian inovatif, apalagi keberanian untuk mengintegrasikan pesan-pesan momentum Kebangkitan Nasional tersebut dengan perspektif disiplin ilmu tertentu, khususnya dengan ilmu-ilmu keislaman.

Berikut ini kita akan mencoba mendialogkan peristiwa Kebangkitan Nasional 20 Mei 1908 dengan beberapa ayat dalam kitabullah. Tujuan perbincangan ini tidak neko-neko. Hanya untuk memperkaya hazanah ilmu pengetahuan dan menerbitkan selera anak-anak Indonesia untuk menenggelamkan diri dalam menghayati peristiwa sejarah bangsanya, sehingga memiliki keunnggulan dalam karakter kebangsaan dan tidak kehilangan jati diri.

Walaupun perbincangan kita sekarang ini tidak tentang sejarah murni (pure history), namun kita tentu tidak bisa menjauhkan diri secara total dari keniscayaan mengemukakan materi kesejarahan terkait Kebangkitan Nasional. Kita memerlukan perbincangan aspek kesejarahan Kebangkitan Nasional itu dalam posisinya sebagai pusat kajian. Selanjutnya, aspek kesejarahan Kebangkitan Nasional didialogkan dengan pisau bedah yang diambil (taken) dari maha sumber inspirasi pengembangan ilmu pengetahuan yang tertuang pada ayat-ayat dalam kitabullah.

Agar perbincangan ini lebih bersifat runtut dan mendasar, tidak keliru jika kita awali melalui pintu masuk yang mengantar kita ke ruang asbabul wurut kehadiran Kebangkitan Nasional. Sementara itu, pintu masuk ke ruang  asbabul wurut kehadiran Kebangkitan Nasional adalah ikhtiyar bangsa kita merebut kemerdekaannya.

Dalam sejarah merebut kembali kemerdekaan, bangsa kita melalui proses pengalaman yang panjang dan berliku. Hitung saja interval antara tahun 1600 sampai 1945. Pada awalnya, bangsa-bangsa asing datang  ke Nusantara bukan untuk menjajah. Rata-rata mereka membawa misi penjelajahan dan perdagangan. Oleh sebab itu, resistant (perlawanan) tidak berlangsung sejak kedatangan mereka. Namun demikian, dalam menyambut misi bangsa asing itu, terutama sekali misi dagang mereka, anak-anak Nusantara tidak ragu dalam menunjukkan sikap kompetitifnya. Dengan style (gaya) sambutan itu, bangsa-bangsa asing tersebut merasa kesulitan menjalankan misinya. Fakta pengalaman itu menggoda bangsa-bangsa asing itu membuat keputusan untuk melakukan sesuatu, hatta sebuah kecurangan. Dengan sebuah perencanaan yang cukup matang, bangsa asing itu melakukan rekayasa perdagangan yang merugikan bangsa kita.

Tidak cukup sekedar merekayasa politik dagangnya, bangsa-bangsa asing itu pun memprovokasi kerajaan-kerajaan bawahan agar melakukan perlawanan kepada kerajaan besar yang menjadi induknya. Devide et impera semakin mengacaukan integrasi bangsa kita. Misi dagang bangsa-bangsa asing itu-pun akhirnya berubah total menjadi misi politik imprealisme. Keadaan ini men-trigger terjadinya gesekan, bahkan akhirnya berujung perang. Kelicikan bangsa asing yang berubah menjadi imprealis tersebut memuncak. Mereka gencar merusak ukhuwah wathaniyah dan makin bernafsu menguasai kekayaan nusantara. Kezaliman bangsa imprealis ini akhirnya tak urungkan geliat anak-anak Nusantara menabuh genderang resistant (perlawanan).

Resistant (perlawanan) bangsa kita dimulai dengan perjuangan yang dimobilisasi oleh para raja di seluruh Nusantara. Walaupun merepotkan imprealis, perjuangan para raja itu akhirnya dapat dipatahkan. Satu persatu, raja-raja di Nusantara tunduk dan takluk di bawah kekuasaan imprealis. Keadaan ini tidak memadamkan api perjuangan bangsa. Para mujahid dan tokoh-tokoh bangsa yang berjiwa besar dan memiliki semangat kebangsaan yang hebat kembali melakukan perlawanan secara sporadic.

Sampai awal abad 20 siklus perjuangan para raja dan mujahid terus berlangsung. Gugur satu tumbuh seribu. Mirisnya, satu pun dari perjuangan itu belum berhasil mengantar bangsa kita ke depan pintu gerbang kemerdekaan. Dengan kata lain perjuangan bangsa kita yang jelas bertujuan mulia selalu dipatahkan oleh kezaliman bangsaa imprealis. Kondisi objektif adanya gap tujuan pejuangan bangsa kita dengan hasilnya ini dapat dipahami dengan mengurai sebuah realitas bahwa tujuan memang penting, tetapi cara mencapainya sudah pasti sangat penting. Tujuan masih ditingkat idealisme, sedangkan cara mencapainya telah di zona praxis. Tujuan dengan proses perumusannya bisa ideal dan elegan. Pada proses pencapaiannya, tidak sedikit challenger dan trouble membayangi, bahkan mengggurkan idealism dan perfectionism tujuan tersebut.

Premis-premis di atas tidak merendahkan posisi tahap perumusan tujuan, tetapi mengilustrasikan kecenderungan terjadinya gap antara tujuan dengan ikhtiyar serta intaj (produk) adalah sunnatullah. Ingat dan sadarilah bahwa tujuan itu juga makhluk yang wajib memiliki cela atau keterbatasan. Sementara itu, cela atau keterbatasan dari sebuah tujuan dan cara mencapainya, cenderung akan terlihat ketika tujuan itu diikhtiyarkan atau bukan ketika dirumuskan. Atinya, pada waktu perumusan, cela dan keterbatasannya diabaikan, serta kadang-kadang tidak terdeteksi sama-sekali. Oleh sebab itu seringkali tidak terantisipasi, bahkan ketika terdeteksi, kerap kali memunculkan kesulitan mereaksi secara cepat untuk menentukan penawar atau solusi yang efektif.

Dalam Qur’an Surat Lukman ayat 34, kesulitan ini dinyatakan dalam firman Alloh yang berbunyi: “Wama tadri nafsun madza taksibu ghodan” yang berarti: setiap manusia tidak memiliki kapasitas untuk menentukan secara pasti dan tepat apa yang hendak ia dikerjakan esok hari.

Walaupun telah dipahami sebagai sebuah sunnatullah, fakta gap antara tujuan dengan ikhtiyar serta intaj (produk) pejuangan bangsa kita tersebut memicu kegalauan akademik (sense of academic crisis) para nasionalis dari golongan cendikia. Untuk menjawab kegalauan itu, mereka mensimulasikan beberapa fakta perjuangan, bahkan merujuk beberapa contoh pecapaian bangsa-bangsa di dunia sebagai refrence dan perbandingan. Beberapa contoh pencapaian dimaksud antara lain: (1). Berkembangnya liberalism dan faham human right, (2).  Diterapkannya pendidikan system barat dalam pelaksanaan politik etis pada tahun 1902 yang memberikan pengalaman luas bagi pelajar, (3). Kemenangan Jepang terhadap Rusia pada tahun 1905 yang membangkitkan semangat masyarakat Asia-Afrika dalam melawan penjajah, (4). Gerakan Turki Muda pada tahun 1896-1918 yang betujuan mengobaran nasionalisme, (5). Pergerakan Pan-Islamisme Djamaluddin Al-Afgani yang meporak-porandakan imprealisme Barat, dan (6). Pergerakan nasionalisme India, Tiongkok, serta Philifina.

Analisis para cerdik-pandai yang memiliki nasionalisme “setengah dewa” tersebut akhirnya dapat menjawab muatan sense of academic crisis terkait kegagalan perjuangan memukul mundur imprealisme di Nusantara. Kata kunci jawaban yang diperoleh dari hasil telaah mereka adalah bahwa selama ini perjuangan bangsa kita gagal karena belum terorganisasi dengan rapi. Dengan kata lain kita perlu melakukan “Pergerakan dan Pejuangan Yang Terganisasi, simultan, dan massif”.  Artinya, setidak-tidaknya ada 2 hal yang sangat dipentingkan dalam pergerakan dan perjuangan menumpas kekuasaan penjajah, yaitu: Pertama, kesadaran kolektif yang dihadirkan oleh rasa senasib, sebangsa, dan setanah air. Kedua. Modernisasi pergerakan dengan ciri adanya pengorganisasian gerakan yang ditopang oleh kapasitas intlektualitas, komunikasi politik, dan jaringan, baik dalam lingkup regional, nasional, serta dunia internasional.

Menukil ayat-ayat Alloh dalam mengurai lebih lanjut jawaban atas sense of academic crisis para pejuang dan kaum nasionalis kita, dipastikan akan mengantar kita pada pemahaman yang tepat dan mantap terhadap kegagalan perjuangan bangsa sebagaimana fakta sejarah di atas. salah-satu ayat yang dapat diajukan adalah: QS. As-Shaaf ayat 4 yang artinya: “Alloh sangat menyukai orang-orang yang berperang dengan barisan yang rapi dan kokoh bagai sebuah bangunan yang tersusun dengan konstruksi kuat”. Ayat ini secara terang dan jelas memberikan petunjuk tentang strategi berperang atau menghadapi lawan. Dalam sebuah pertempuran atau peperangan, ayat ini mengajarkan bahwa para pihak membutuhkan sebuah pengorganisasian pasukan, bahkan sistem makro kenegaraannya. Perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, evaluasi, dan tindakan lanjutan akibat peperangan harus utuh dan singkron. Dalam konteks resistant bangsa kita terhadap bangsa imprealis yang teus gagal sebagaimana paparan fakta sejarah di atas, tampaknya disebabkan oleh belum adanya upaya pengorganisasian yang utuh dan singkron sebagaimana petunjuk ayat di atas.

Terkait dengan pentingnya pengorganisasian dalam setiap gerakan, golongan harakiyyun (kaum pergerakan) menegaskan bahwa: “Al-haqqu bila nizhom yaglibuhul bathil binnizhom” (kebaikan yang tidak diorganisasi dengan benar akan tekalahkan oleh kejahatan yang terorganisasi secara tepat).

Kesadaran para nasionalis dan cerdik pandai tentang perlunya melakukan “Pergerakan dan Pejuangan Yang Terganisasi, simultan, dan massif” sebagaimana uraian di atas, akhirnya menghadirkan suatu keputusan untuk mengkonstruk sebuah paradigma gerakan yang mengakar dengan usaha pencerdasan bangsa dan melangit dengan sayap kebangsaan yang mengepak dari Sabang sampai Merauke. Setelah tanpa enggan belajar dari Serikat Dagang Islam yang lahir tahun 1905 di Yogyakarta, akhirnya pada tanggal 20 Mei 1908, Dokter. Soetomo, Dokter. Wahidin Sudirohusodo, Soewardi Suryaningrat, dan beberapa orang mahasiswa STOVIA, seperti Gunawan Mangoenkuesoemo, mengawali paradigma baru ini dengan pendirian Budi Utomo. Kemudian pada perkembangannya, Dokter. Wahidin Sudirohusodo menggagas Budi Utomo ini untuk focus pada pengorganisasian kegiatan yang bersifat sosial, ekonomi, dan kebudayaan.  Pengkhususan sifat gerakan ini tentu merupakan sebuah proteksi yang strategis agar terhindar dari kecurigaan penjajah. Selain itu, pengkhususan sifat gerakan Budi Utomo awalnya diperuntukkan bagi golongan cendikia Jawa dalam misi pendidikan dan kesejahteraan.

Ketika dipimpin Noto Dirodjo, Budi Utomo berhasil digiring hingga masuk ke ruang politik. Kekentalan gerakan politik Budi Utomo ini semakin berasa ketika Douwes Deeker yang merupakan seorang Indo-Belanda berhasil mempublikasikan secara massif melalui media massa. Salah satu sukses propaganda Douwes Deeker adalah pemahaman cendekia Jawa yang mantap tentang kebangsaan dan tanah air. Pemahaman yang sedemikian rupa itu pun kemudian menjadikan Budi Utomo sebagai organisasi yang terbuka untuk setiap putera-puteri Nusantara. Dengan sifat keterbukaannya, Budi Utomo kemudian menyelenggarakan Kongres Budi Utomo pada tanggal 3-5 Oktober 1908 yang behasil menetapkan pemekaran zona gerakan yang ditandai dengan pembentukan beberapa  cabang, di antaranya: Bogor, Bandung, Magelang, Yogyakarta, Surabaya, dan Ponorogo. Pada Kongres ini pun ditunjuk Raden Adipati Tirtokuesoemo, mantan Bupati Karanganyar sebagai Ketua.

Perluasan peruntukan Budi Utomo dari hanya untuk ningrat Jawa hingga untuk seluruh anak-anak Nusantara menggambarkan adanya sebuah change (perubahan), terutama pada model orientasi pergerakan dan perjuangan. Anak-anak Nusantara telah diantar oleh Budi Utomo menggaris-bawahi pentingnya pesaudaraan dan kebersamaan untuk melawan politik Devide Et Impera. Arah orientasi pergerakan dan perjuangan ini sesungguhnya telah terilhami oleh ayat Alloh Ta’ala yang menegaskan, “Hai orang-orang yang beriman, apabila kalian bertemu musuh, maka beteguh hatilah, bezikir sebanyak-bayaknya agar kalian menang. Dan taatlah kepada Alloh dan Rasululloh, janganlah beselisih karena akan menghadirkan rasa gentar dan akan melemahkan pertahanan kalian. Perbanyak sabar karena Alloh bersama orang-orang yang sabar”.(QS. Al-Anfal Ayat 45-46)


Setelah kiprah Budi Utomo, kesadaran kolektif dan modernisasi pergerakan di Nusanatara semakin menjamur. Beberapa di antaranya: Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, Penerbitan Al-Munir di padang, Pesantren Al-Mujahidin yang menjadi embrio NWDI-NBDI di Lombok, dan lain-lain. Pergerakan yang simultan, massif, dan terorganisasi di seluruh Nusantara membidani kekuatan raksasa yang secara cepat mampu mencabik-cabik kekuasaan imprealis. Atas berkat Rahmat Alloh Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur anak-anak Nusanatara, akhirnya Indonesia sampailah pada saat yang membahagiakan, yaitu kemerdekaan 17 Agustus 1945. 

Fakta-fakta ini kemudian menginspirasi para nasionalis, termasuk Soewardi Suryaningrat atau Ki Hajar Dewantara untuk mengukuhkan berdirinya Budi Utomo sebagai Hari Kebangkitan Nasional pada peringatan milad Budi Utomo Pertama di Istana Kepresidenan Yogyakarta tanggal 20 Mei 1948 dan dihadiri langsung oleh Presiden Ir Soekarno. 

Secara sadar atau tidak, pengambilan diksi kata Kebangkitan Nasional sebagai sebutan peristiwa lahirnya pergerakan modern anak-anak Nusantara yang ditandai dengan lahirnya Budi Utomo adalah sebuah keberkahan. Menururt pakar, kata Kebangkitan, jika disetarakan dengan kata dalam Bahasa Arab menjadi Nahdlatul. Kata ini merupakan isim masdar dari kata “nahdla” yang berarti Qiyam (rising) atau dalam Bahasa Indonesia “bangkit”. Lebih lanjut, para pakar juga menyatakan bahwa isim masdar lain dari kata “nahdla” adalah “nuhudi” Dalam hal penamaan badan atau organisasi, para pakar sepakat memilih  kata Nahdla (Nahdlatul). Argumentasinya adalah karena Nahdla (Nahdlatul) merupakan isim marrah yang berarti sebuah peristiwa itu terjadi hanya sekali karena sangat luar biasa. Jadi Nahdlatul itu artinya sekali bangkit dan bertahan selamanya. Walaupun demikian jika terjadi “gesekan”, itu hanya menunjukkan sifat makhluk yang dengan izin Alloh nantinya akan bisa dilewati dan berujung indah.

Para ahli berpendapat bahwa kata Nasional dalam Bahasa Arab  setara juga dengan al-Wathan. Dalam wikepedia dinyatakan bahwa Al-Wathan berarti al-Jannah sehingga kata “Hubbul Wathan minal Iman berarti cinta surge sebagain dari iman. Selanjutnya, al-Wathan diartikan pula sebagai tanah air. Dengan demikian Kebangkitan Nasional setara dengan Term Nahdlatul Wathan yang berarti Sebuah pergerakan nasionalisme atau pergerakan yang mengantar menuju surga.

Sedemikian hebat dan komprehensifnya spirit Kebangkitan Nasional sehingga meyakinkan kita untuk bisa merefleksinya dalam segala momentum dan perintiwa, termasuk keadaan luar biasa. Sebut saja dalam keadaan darurat kesehatan akibat Pandemi Covid 19. Kita sangat memerlukan sinergitas dan agenda-agenda yang terorganisasi tanpa perdebatan dan perselisihan dalam mengentasnya.  Jadi jika semangat atau spirit Kebangkitan Nasional kita refleksikan dalam penanganan Pandemi Covid 19, maka atas izin Alloh segalanya akan berujung indah. Wallohu’alamu.

Selamat Idul Fitri 1444 H


Selamat Idul Fitri 1444 H

 

Pendidikan

Hukum

Ekonomi