www.okenews.net: Opini & Artikel
Tampilkan postingan dengan label Opini & Artikel. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Opini & Artikel. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 03 Oktober 2020

Pentingnya Manajemen Keuangan di Ambang Resesi Ekonomi Akibat Covid -19

Oleh: Muhib Abdul Majid



Dampak dari pandemi Covid-19 menyebabkan kondisi ekonomi di berbagai negara terpuruk, salah satunya adalah negara Indonesia. Kondisi ekonomi Indonesia pada saat ini berada di ambang resesi karena pertumbuhan ekonomi pada kuartal II-2020 dilaporkan minus, di angka 5,32 persen. Pada tanggal 1 September 2020, Presiden Joko Widodo mengatakan, jika pada kuartal III 2020 pertumbuhan ekonomi Indonesia kembali minus, maka kita akan mengalami resesi.


"Kalau kita masih berada pada posisi minus, artinya kita masuk resesi,” kata Peresiden Jokowi saat memberi pengarahaan pada para gubenur lewat konferensi video dari Istana Kepresidenan, Bogor, seperti  diberitakan media Kompas.com, Selasa (1/9/2020). Peresiden berharap, pertumbuhan ekonomi Indonesia bangkit pada kuartal III 2020.


Namun melihat kondisi data tematik yang di muat oleh media covid19.go.id, perkembangan kasus Covid-19 di Indonesia pada 1 Oktober 2020, kasus positif berjumlah 291.182, sembuh 218.487 dan meninggal 10.856. Dari data ini kita dapat melihat kasus masyarakat yang terkena Covid-19 meningkat terus menerus khususnya di daerah-daerah perkotaan seperti di DKI Jakarta.


Sehingga saat sekarang ini gubenur DKI Jakarta Anis Baswedan pun kembali memberlakukan Pembatasan Sosial Bersekala Besar (PSBB) di wilayah pemerintahanya DKI Jakarta. Dengan kondisi kasus Covid-19 yang terus menigkat ini juga, Peresiden Joko Widodo memperpanjang kembali masa pembatasan sosial atau ‘physical distancing’. 


Keputusan seperti ini secara tidak langsung memberikan dampak kepada tatanan kehidupan masyarakat khususnya masyarakat yang mendapatkan penghasilan dari sektor-sektor ekonomi seperti UMKM, pembisnis dan perusahaan-perusahaan yang ada di Indonesia.


Dengan demikin kata Majid, banyak para pengamat ekonomi Indonesia berpendapat bahwa resesi ekonomi kuartal III mau tidak mau sudah di ambang pintu, karna aktifitas ekonomi semakin kendor. 


Sehingga banyak perusahaan-perusahaan dan UMKM terpaksa mengambil sikap dengan memotong gaji karyawan bahkan ada jugak perusahaan-perusahaan besar yang melakukan PHK secara besar-besaran terhadap para pekerjanya. Hal ini secara tidak langsung memberikan dampak bagi keuanggan financial peribadi atau rumah tangga warga masyarakat Indonesia.


Maka dari itu ilmu manajemen keuanggan untuk masyarakat yang terdampak virus Covid-19 sangat penting, guna untuk melangsungkan kehidupan yang layak saat ini dan di masa depan. Manajmen keuanggan disini bermakna bahwa bagaimana kondisi saat sekarang ini kita bisa mengatur cara membelanjakan harta yang kita miliki secara proporsional, membelanjakan harta yang kita miliki sesuai dengan kebutuhan saat ini dan tidak menghambur-hamburkan rizki yang sudah diberikan oleh Tuhan. 


Dalam Al-Quran sudah secara jelas diperintahkan oleh Allah SWT yang artinya: “Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebih-lebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelajar itu) di tengah-tengah antara yang demikian”. (Q.S. Al-Furqon/25:67). Maka dari petikan tafsir ayat Al-Qur’an ini kita bisa menarik dua cara penting untuk mengatur keuangan yang kita miliki di masa pandemi Covid-19 ini yaitu cara pertama adalah kita harus membuat skala prioritas pengeluaran.


Menentukan skala prioritas ini bisa digunakan dengan memilih mana yang sifatnya kebutuhan dan mana yang sifatnya keingginan. Di Masa ambang resesi saat ini sebaiknya mendahulukan kebutuhan yang benar-benar dibutuhkan. Sedangkan untuk keinginan sebaiknya ditunda dulu hingga  kondisi ekonomi betul-betul normal kembali. 


Kedua, carilah peluang usaha untuk menambah pendapatan. Seperti peluang usaha yang dibutuhkan  di masa Covid-19 ini, mulai dari usaha jualan makanan secara online, masker, alat pelindung diri (APD), frozen food, atau pun usaha-usaha kuliner lainya. Kemudian khusus untuk masyarakat yang pemasukan tiap bulanya tidak terkena dampak Covid-19 harus banyak-banyak bersyukur karena otomatis kondisi keuanggan kita baik-baik saja. Maka dari itu alangkah baiknya kondisi saat ini adalah waktu paling tepat untuk menigkatkan kesolehan sosial yang ada pada diri kita, dengan cara berbagi kepada warga masyarakat yang ada dilingkugan sekitar kita yang terkena imbas Covid-19.



Kemudian selain itu kita dapat membuat alokasi pos dana darurat dan investasi. Dana darurat atau emergency fund adalah dana yang diperuntukkan untuk situasi-situasi darurat. Ibu Murniati Mukhlisin dalam sakinah financial mengatakan bahwa, dana darurat dapat dikumpulkan dengan cara mengalokasikan 10-30% dari pemasukan tiap bulanya. 


Selain itu idealnya dana rumah tangga sebanyak 6-9 kali pengeluara rutin. Setelah dana darurat  sudah terkumpul maka hal selanjutnya yang dilakukan dalam manajemen keuanggan di tenggah resesi ekonomi akibat pandemi Covid-19 adalah investasi. 


Investasi dapat dilakukan di tempat yang sudah jelas hukum halal dan haramnya, misalnya di  SANTARA, Dinaran, lembaga keuanggan miliknya Mas  Mardigu wowik kemudian bisa juga di saham syariah, reksa dana syariah atau pun peroduk-peroduk investasi syariah lainya.


Oleh karena itu kita harus yakin dan terus optimis bahwa dibalik musibah Pandemi Covid-19 ini pasti ada rahmat dan pelajaran yang terkandung didalamnya. Sikap  yang harus tetap ada pada diri kita di masa-masa pandemi saat ini adalah jangan pernah berhenti untuk berdoa dan berikhtiar untuk mencari rizki yang sudah di turunkan ke bumi oleh Allah SWT, harapnya.


Penulis adalah Ketua Persatuan Pelajar Indonesia Universiti Teknikal Malaysia Melaka (PPI UTeM) sekaligus kandidat Master of Technologi Inovasi Keusahawanan


Senin, 31 Agustus 2020

Merdeka Belajar dan Peta Jalan Menuju Indonesia Emas 2045

Soni Ariawan

Oleh: SONI ARIAWAN

(Staf Pengajar Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Mataram)


PADA tahun 2017, Human Development merilis sebuah laporan tentang Education Index dimana Indonesia menempati urutan ke 7 di ASEAN dengan skor 0,622. Posisi ini jauh tertinggal oleh Singapura dengan perolehan skor 0,832 sebagai peringkat pertama di ASEAN dan Malaysia dengan 0,719 di posisi ke dua. Perangkingan ini dihitung berdasarkan rata-rata lama sekolah dan target capaian lama sekolah yang sudah dibuat oleh kementerian pendidikan di negara masing-masing. Semakin tinggi angka rata-rata lama sekolah maka semakin tinggi jenjang pendidikan yang ditempuh dan begitu sebaliknya. Singapura dan Malaysia sebagai peringkat pertama dan ke dua di ASEAN memiliki rata-rata lama sekolah 11,5 tahun dan 10,2 tahun. Sementara itu, rata-rata lama sekolah di Indonesia hanya 8 tahun. Artinya sebagian besar masyarakat Indonesia tidak sampai menamatkan bangku Sekolah Menegah Pertama (SMP) atau hanya sampai kelas 8, dengan asumsi Sekolah Dasar 6 tahun dan Sekolah Menengah Pertama 3 tahun. 


Rendahnya rata-rata lama sekolah juga memengaruhi peringkat Indonesia dalam Global Talent Competitiveness Index (GTCI). Indonesia berada pada posisi ke 6 di ASEAN tahun 2019. GTCI ini didasarkan pada hasil pengukuran terhadap  berbagai aspek kualitas pendidikan seperti: pendidikan vokasi, pendidikan formal, literasi baca tulis dan hitung, jurnal ilmiah, mahasiswa internasional, relevansi pendidikan dengan dunia bisnis dan beberapa indikator lainnya. Berada pada posisis ke 6 ini tentu bukan capaian prestasi, justru sebaliknya. Fakta ini menunjukkan bahwa daya saing kita masih sangat rendah dibanding negara ASEAN lainnya.


Kabar tidak sedap tentang kualitas pendidikan Indonesia juga kita dengar pada Desember 2019 lalu dimana peringkat Indonesia merosot dalam evaluasi Programme for International Student Assessment (PISA) untuk tahun 2018-2019. Peringkat Indonesia menurun hampir di semua indikator penilaian seperti membaca, matematika dan sains terhitung sejak mengikuti PISA tahun 2000. Kesimpulan dari perangkingan yang dirilis oleh OECD (Organization for Economic Cooperation and Development) ini adalah hanya 30% siswa Indonesia yang memenuhi kompetensi membaca minimal, kurang dari 40% mencapai kompetensi minimal di Matematika dan 40% siswa masih berada di bawah kemampuan minimal yang diharapkan dalam bidang Sains. 


Data di atas masih terkait dengan kualitas pendidikan dari aspek kompetensi siswa dan lulusan. Belum lagi kita berbicara tentang kualitas guru yang menjadi salah satu variabel penting dalam menentukan kualitas output. Dari hasil Uji Kompetensi Guru (UKG) saja misalnya, sejak 2015 sampai 2017, kurang dari 70% guru yang lulus ujian ini. Hal ini menunjukkan bahwa kompleksitas permasalah pendidikan di Indonesia tidak hanya meliputi sarana dan prasarana dan kualitas lulusan, tetapi juga pada sumber daya dimana masih banyak guru yang belum memiliki kompetensi minimal dalam melaksanakan pembelajaran yang berkualitas. 


Dari sekelumit problematika di atas, apakah Indonesia masih punya harapan? Apakah masih ada jalan menuju Indonesia Emas 2045? Apakah bonus demografi kita hanya bonus kuantitas tetapi miskin kualitas? Artikel ini akan menguraikan peta jalan menuju Indoensia Emas 2045 dan alternatif solusi berupa kebijakan pendidikan yang bisa dilakukan oleh pemerintah sebagai bagian dari gerakan merdeka belajar. 


Peta Jalan Menuju Indonesia Emas 2045 


Ada empat pilar utama dalam rangka mewujudkan Indonesia Emas 2045, yaitu: 1) pembangunan SDM dan penguasaan IPTEK, 2) perkembangan ekonomi berkelanjutan, 3) pemerataan pembangunan, dan 4) ketahanan nasional dan tatakelola pemerintahan. Pilar yang pertama, pembangunan sumber daya manusia dan ilmu pengetahuan dan teknologi, sangat ditentukan oleh kualitas pendidikan.






Dari peta jalan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa ada enam indikator yang menjadi target utama pengembangan sumber daya manusia dan penguasaan terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi. Pertama adalah rata-rata lama sekolah. Pada bagian pendahuluan, telah disebutkan bahwa rata-rata lama usia sekolah masyarakat Indonesia adalah 8 tahun. Jika mengacu pada tahapan peta jalan di atas, masih tersisa 4 tahun lagi untuk mengejar rata-rata lama sekolah 10 tahun. Gerakan merdeka belajar harus mulai melihat indikator ini dalam merumuskan kebijakan. Salah satunya adalah mengevaluasi kebijakan belajar 9 tahun dan meningkatkannya menjadi 12 tahun. Ternyata di saat kita sedang mengejar target wajib belajar 9 tahun, negara maju di ASEAN sudah di atas rata-rata 10 tahun. 


Kedua, Angka Partisipasi Kasar (APK) Perguruan Tinggi harus mencapai 60% di tahun 2045. Berdasarkan data dari www.mediaindonesia.com, APK Perguruan Tinggi saat ini sebesar 32,5%. Angka ini di bawah negara Malaysia (38%), Singapura (82%), bahkan Korea Selatan (92%). Dalam waktu 25 tahun mendatang, Indonesia harus mengejar minimal 27,5% peningkatan APK untuk mencapai target 60%. Menurut hemat penulis, persentase kenaikan APK Perguruan Tinggi di Indonesia tidak signifikan karena beberapa faktor, diantaranya: faktor finansial sehingga lulusan SMA/sederajat lebih memilih untuk bekerja daripada kuliah dan minimnya kepercayaan sebagian masyarakat terhadap kemampuan Perguruan Tinggi untuk menjamin lulusannya diterima di dunia kerja. Alasan ke dua ini bisa ditemukan dalam kehidupan sehari-hari. Pengangguran yang bergelar sarjana dijadikan sebagai pembenaran oleh mereka untuk tidak menyekolahkan anaknya. Bagi mereka, kuliah atau tidak, pada akhirnya akan menganggur juga. 


Gerakan merdeka belajar sudah mulai menyentuh sumber masalah ini dengan kebijakan kampus merdeka dimana mahasiswa diberikan peluang yang besar untuk mengasah skill dan mengembangkan minatnya melalui magang atau program pemberdayaan masyarakat. Namun, untuk meningkatkan kuantitas APK, maka diperlukan kebijakan afirmasi untuk menambah kuota beasiswa bagi mahasiswa yang tidak mampu. Skema beasiswa bidik misi, sebagai salah satu contoh, sangat efektif untuk menjaring mahasiswa yang tidak mampu tetapi memiliki kemampuan akademik yang bagus. Selain itu, kehadiran pemerintah dalam menjembatani perguruan tinggi dengan industri (swasta) sangat dibutuhkan. Skema triple helix bisa menjadi alternatif untuk mengkoneksikan (link-match) kebutuhan industrai (SDM) dan ketersediaan SDM di perguruan tinggi (Bappenas, 2017). Dengan demikian, semua lulusan perguruan tinggi akan terserap oleh dunia kerja. 


Berikutnya adalah kualitas guru dan dosen. Uji Kompetensi Guru (UKG) telah membuktikan bahwa masih banyak guru yang tidak memiliki kompetensi minimal dalam menghadirkan pembelajaran yang berkualitas. Kebijakan merdeka belajar dengan memberikan kemerdekaan berkreasi dan berinovasi kepada guru akan mampu menghasilkan guru yang berkualitas. Mereka tidak lagi disibukkan dengan urusan administrasi, tetapi fokus kepada peningkatan kompetensi. Dengan demikian, guru penggerak akan hadir di sekolah-sekolah sebagai lokomotif transformasi pendidikan Indonesia. Selama ini bukan berarti guru dengan karakter guru penggerak tidak ada di sekolah. Tentu banyak sekali para guru yang kreatif dan inovatif, namun karena masih terjerat oleh sistem, mereka cenderung untuk diam dan tidak memaksimalkan potensinya. 


Adapun kualitas dosen bisa diukur dari jenjang pendidikan dan karya publikasi atau inovasi. Ada dua kebijakan yang saat ini sangat mendukung peningkatan kualitas dosen. Pertama, beasiswa LPDP yang telah diberikan kepada 24.926 orang sangat berpotensi untuk melahirkan dosen dan sumber daya manusia yang berkualitas. Bisa dibayangkan bahwa ini baru satu sumber beasiswa, belum lagi dari kementrian dan instansi yang lain baik di dalam maupun luar negeri. Kedua, apresiasi terhadap inovasi yang dilakukan oleh dosen dan peneliti mampu menjadi motivasi untuk berkarya. Terlebih lagi sudah ada kementrian khusus yang menangani riset di Indonesia. Kebijakan dalam mendorong hasil penelitian menjadi sebuah inovasi dan teknologi yang dapat diaplikasikan untuk pembangunan bangsa harus digalakkan. 


Dengan demikian, gerakan merdeka belajar bukan merupakan sebuah gerakan teoritis dan naratif saja, namun gerakan yang memiliki orientasi yang jelas dengan disertai kebijakan afirmasi yang saling mendukung satu sama lain. Ada satu hal lagi yang penting untuk dikuatkan dalam proses transformasi menuju Indonesia Emas 2045, yaitu kebudayaan. Kita tidak ingin kehilangan karakter bangsa seiring dengan kemajuan yang dialami. Oleh karena itu, ciri khas pendidikan Indonesia yang selalu mengangkat nilai-nilai budaya dan menekankan pada pendidikan karakter harus menjadi ruh dalam proses transformasi pendidikan ini. Dengan demikian, gerakan merdeka belajar mampu mengakselerasi sumber daya manusia yang berkualitas menuju Indonesia Emas 2045. 


Referensi

Bappenas. (2017). Visi Indonesia 2045. Orasi Ilmiah Fakultas Ekonomi Dan Bisnis - Universitas Indonesia, 1(September), 48. https://luk.staff.ugm.ac.id/atur/BahanPaparanMPPN-VisiIndonesia2045-25September2017.pdf


Kemendikbud. (2017). Peta Jalan Generasi Emas Indonesia 2045. Kementerian Pendidikan Dan Kebudayaan Republik Indonesia, 1–30. 

https://paska.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/2018/08/170822-V.2-Generasi-Emas-2045-.pdf


https://tirto.id/di-mana-sebagian-besar-alumni-lpdp-bekerja-ehJZ


https://tirto.id/indeks-pendidikan-indonesia-rendah-daya-saing-pun-lemah-dnvR


https://data.oecd.org/indonesia.htm#profile-education


https://www.lpdp.kemenkeu.go.id/in/home


https://mediaindonesia.com/read/detail/222110-apk-pendidikan-tinggi-ditargetkan-mencapai-50-pada-2024

Jumat, 10 Juli 2020

Untuk Siapa BUMDES dan Ritel Modern?

UNDANG-undang nomor 6 tahun 2014 bahwa Badan Usaha Milik Desa (BUMDES) adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh desa melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan Desa yang dipisahkan dalam mengelola aset, jasa pelayanan, dan usaha lainnya sebesar-besarnya dalam meningkatkan taraf kesejahteraan masyarakat Desa. Badan Usaha Milik Desa adalah sebuah perusahaan yang dikelola oleh masyarakat desa dan kepengurusannya terpisah dari pemerintah desa.

Lalu Usman Ali
BUMDES didirikan untuk meningkatkan Pendapatan Asli Desa (PAD). Jika pendapatan asli desa dapat diperoleh dari BUMDES yang dikelola, maka kondisi ini akan mendorong setiap Pemerintah Desa memberikan respon yang baik dalam mendirikan BUMDES. Sebagai salah satu bentuk lembaga ekonomi yang beroperasi di pedesaan, BUMDES harus memiliki perbedaan dengan lembaga ekonomi pada umumnya. Tujuannya agar keberadaan dari BUMDES dan kinerjanya mampu memberikan kontribusi yang signifikan dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Ada tujuh yang membedakan BUMDES dengan lembaga komersial lainnya, yaitu: (1) badan usaha yang dikelola dan dimiliki secara bersama-sama; (2) modal usaha diperoleh dari Desa 51% dan 49% berasal dari masyarakat; (3) operasionalisasinya dilakukan atas dasar pada falsafah bisnis yang berbasis budaya local; (4) potensi yang dimiliki desa dan hasil informasi pasar yang tersedia menjadi dasar untuk menjalankan suatu usaha; (5) laba atau keuntungan yang diperoleh BUMDES dipergunakan dalam upaya peningkatan kesejahteraan anggota dan masyarakat; (6) difasilitasi oleh pemerintah Provinsi, Kabupaten, dan Pemerintah Desa; dan (7) pelaksanaan operasionalnya diawasi secara bersama Pemerintah desa, BPD serta anggota.

Secara umum tujuan dari dibentuknya BUMDES yaitu: (1) meningkatkan perekonomian desa; (2) meningkatkan pendapatan asli desa (PAD); (3) meningkatkan kreatifitas dan peluang usaha ekonomi yang produktif masyarakat desa yang berpenghasilan rendah; dan (4) mendorong perkembangan usaha mikro sektor informal.

Berbeda sekali dengn toko swalayan/ritel modern, secara kepemilikan bahwa ia dimiliki oleh segelintir orang, Ritel modern sebenarnya merupakan pengembangan dari ritel tradisional, yang pada praktiknya mengaplikasikan konsep yang modern, pemanfaatan teknologi, dan mengakomodasi perkembangan gaya hidup di masyarakat (konsumen). Saat ini, muncul begitu banyak format modern ritel/market diantaranya yaitu: supermarket, minimarket, hypermarket, specialty store/convinience store, department store. 

Adapun dari beberapa hasil penelitian bahwa bahwa: 1) dampak terbesar dari pesatnya minimarket waralaba terhadap usaha kecil jenis ritel adalah pada keberlangsungan usaha dan penurunan omzet penjualan; 2) dampak terkecil adalah pada strategi pemasaran, hal ini disebabkan karena usaha kecil yang menyatakan hal tersebut telah memiliki pelanggan tetap, berada pada lokasi ramai dan juga karena baru berdiri; 3) harapan dari pengusaha kecil ke depan adalah agar lebih mendapat perhatian dari pemerintah, lebih diminati konsumen, tetap survive dan mampu bersaing dengan usaha yang memiliki modal besar; 4) dampak positif yang dapat dirasakan oleh toko ritel adalah dapat menjadikan usaha kecil lebih kreatif dan inovatif dalam menentukan strategi pemasaran dan menjalankan usahanya.

Hal ini menarik jika dihubungkan dengan kondisi Pemerintah Kabupaten Lombok Timur. Pada tahun 2019, Bapak Bupati Lombok Timur sempat melontarkan pernyataan tegas dan mengancam ritel/mart-mart modern bahwa beliau menyatakan “pertama kita akan bantu Bumdes untuk membesarkan dirinya, akan ada alokasi dana dari pemerintah daerah dan alokasi dana desa (ADD) untuk membuata 1 desa 1 Bumdes seperti alfa dan indomart dan saya tidak akan perpanjang ijin dari mart-mart yang modern itu … selama sukiman ada disini maka tidak akan pernah menandatanginya . . .”.

Komitmen Bupati Lotim pada tahun 2019 sudah tepat dengan motivasi menciptakan kesejahteraan masyarakat Lombok Timur khususnya membangun dari desa dengan gerakan akan membangun dan kembangkan Bumdes Mart. Namun, dilain pihak Pemerintah Kabupaten Lombok Timur mengeluarkan surat persetujuan tertanggal 24 Juni 2020 yang menyatakan bahwa penambahan lokasi toko swalayan yang berlokasi di Lombok Timur sebanyak 30  titik yang ditanda tangani oleh Muksin sebagai Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Kabupaten Lombok Timur.

Adanya persetujuan penambahan lokasi ritel modern tersebut, menjadi alasan bagi sebagian masyarakat menilai Bupati Sukiman sebagai pribadi yang tidak layak di percaya, karena telah mengingkari janjinya yang telah "mengharamkan" penambahan ritel modern di Lombok Timur. Memberikan ijin 30 titik lokasi pembangunan toko swalayan modern sangat betentangan dengan motivasi Bupati tersebut, Kutusan Kepala Dinas DPMTS Lotim, dengan dalih melancarkan investasi di daerah.

Bumdes Mart belum direalisasikan tapi sudah dibuatkan rival atau pesaingnya di bawah. Selain itu, pendirian ritel modern yang masuk sampai ditingkat desa tentunya akan berdampak terhadap lesunya atau mungkin bisa membuat matinya UMKM atau pengusaha-pengusaha kecil di desa karena yang pengusaha kecil/UMKM jual sudah tersedia semua di ritel modern tersebut. Hal inilah, yang perlu menjadi kajian ulang para pemangku kebijakan, apakah keberpihakannya kepada UMKM/pengusaha kecil atau hanya kepada segelintir pemilik modal.

Penulis adalah Dosen UIN Mataram 
dan Founder Bale Belajar

Sabtu, 06 Juni 2020

DARI DIALOG AL-AQL AL-MUKAWWIN MENJADI LA RAISON CONSTITUEE

(Sebuah Tinjauan Islamic Studies Menegahi Debatable Tentang New Normal)
OLEH: Dr. Jamiluddin, M.Pd
Sekretaris Lajnah Kaderisasi PBNW dan Tenaga pendidik Di SMA NW Pancor 

PEMIKIRAN dan perasaan secara inplisit kerap-kali distatuskan sebagai intaj (produk). Dalam term yang sederhana, pemikiran dan perasaan adalah tadwin (bentuk) yang terkonstruk dari sebuah proses. Untuk mendalami pemikiran atau perasaan ini, perlu dikaji tentang sebuah proses yang melahirkannya. Dalam kelahiran pemikiran, dipastikan ada proses dialogis yang unik. Dialog mendalam ini diawali dengan aksi objek dalam wujud peristiwa, data, perilaku, teks-teks atau manuskrip. Bisa pula dipastikan dalam term yang simple, objek memberi aksi atau pesan awal melalui ayat-ayat qauliyah dan kauniyah. Pesan-pesan yang menstimulasi dialog kemudian mendapat reaksi subjek. Komunikan atau subjek kemudian aktif mereaksi menghidupkan dialog. Keaktifan komunikan atau subjek ini ter-support karena ia memiliki instrument (perangkat). Satu-satunya subjek yang diciptakan Alloh SWT dengan instrument (perangkat) yang sedemikian supportable adalah manusia. Alloh dalam QS. Attien ayat 3 menegaskan, “ Aku telah menciptakan manusia dengan se-sempurna-sempurna ciptaan.”

Zainal Arifin, dalam karyanya yang berjudul Tafsir Al-qu’an Tentang Akal: Sebuah Tinjauan Tematis; yang dimuat pada Jurnal UIN Ar-Raniri, Aceh tahun 2017, menguraikan bahwa: Instrument (perangkat) pendukung yang dimiliki manusia sering disebut nalar atau akal (al-aql).  Kata ’Aql dalam Al-qur’an terulang sebanyak 49 kali. Kecuali satu, semuanya kata ‘Aql disebut dalam bentuk fi’il mudhari’, terutama materi yang bersambung dengan wawu jama’ah, seperti bentuk ta’qilun atau ya’qilun. Kata kerja ta’qilun terulang sebanyak 24 kali dan kata kerja ya’qilun sebanyak 22 kali. Sedangkan, kata kerja ’aqala, na’qilu, dan ya’qilu masing-masing terdapat satu kali. Dari sejumlah ayat Alquran dapat dipahami bahwa, akal memiliki beberapa makna, antara lain: daya untuk memahami atau mengidentifikasi, menggambarkan sesuatu, dorongan moral, kapasitas atau daya untuk mengambil pelajaran, menarik kesimpulan dan mengakumulasi hikmah.

Akal (Al-Aql) dalam penjelasan di atas dipandang sebagai kapasitas asasi atau dapat disebut sebuah potensi untuk merespon seluruh fenomena, peristiwa, data, atau fakta yang teramati dan apa saja yang terlintas dalam dialog kebatinan seseorang. Respon-respon yang hadir akibat dorongan akal (Al-Aql) dapat dalam bentuk (tadwin) berpikir dan merasa. Respon-respon tersebut terhimpun dalam intaj (produk) yang lazim disebut “pemikiran dan perasaan”.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, akal disetarakan sebagai kata benda yang berarti pertimbangan baik-buruk, akal-budi, dan lain sebagainya, untuk membuat sebuah keputusan. Selain itu, akal diartikan juga sebagai aktifitas yang memungkinkan seseorang berpikir logis, sekaligus memiliki jangkauan pikir atau kekuatan pikir terhadap segala bentuk objek fisik material maupun spiritual-imaterial.

Akal dalam penjelasan Kamus Besar Bahasa Indonesia menunjukkan akal sebagai alat menakar untuk memilih beberapa pilihan-pilihan yang telah tersedia dalam menu kehidupan. Artinya, manusia dengan akalnya adalah makhluk yang terbebas dari perilaku “naïf” (menerima begitu saja tanpa proses telaah). Jadi, walaupun Alloh menguji dengan menawarkan 2 pilihan, sebagaimana QS. As-Syams, Ayat 8, yaitu fujuroha wataqwaha, akal telah dihadiahkan bagi manusia sebagai penjaminan untuk berproses hingga menentukan pilihan yang benar dan baik. Jika dengan akal yang dimiliki, manusia tidak memilih kebaikan yang bermanfaat, maka mereka digolongkan dalam kelompok orang-orang yang merugi dan teramat buruk.

Term al-aql (akal) dapat disepadankan dengan beberapa kata. Misalnya yang diuraikan dalam kamus Bahasa Arab dengan pentashih  KH. Ali Ma’shum dan KH Zainal Abidin Munawwir. Mereka menyatakan bahwa, dalam bentuk masdar, kata al-aql (akal) dapat disepadankan dengan beberapa kata lainnya, seperti: qolbu (hati), Adzzakiro (ingatan), al-quwwatu aqlatun (kekuatan berpikir), Diyat (penganti), al-fahmu (faham), Aqlanatun (benteng), gurfatun (kamar) dan seterusnya.

Sebagaimana tashih pakar di atas, Prof. Azhar Arsyad juga mensetarakan akal dengan hati (qolbun). Jika disepadankan dengan hati, maka akal adalah penentu   baik-buruk manusia. Hal ini dinyatakan dengan menukil HR. Bikhori, Nomor 52 dan HR. Muslim Nomor 1599 yang menguraikan, bahwa. “ Di dalam jasad manusia terdapat segumpal daging. Jika daging itu baik maka baiklah manusia. Tapi jika jelek, maka jelak pula manusia tersebut. Daging itulah yang disebut hati. Dalam konteks akal adalah hati, dapat dikatakan bahwa akal itu membutuhkan perawatan agar tidak menjadi busuk. Satu-satunya paket perawatan yang teruji dan terbukti adalah dengan istiqomah melaksanakan petujunjuk dalam Al-Qur’an sebagai hudan lil-muttaqin, yang tidak ada sedikit keraguan dalam keberadaannya. sebagaimana fiman Alloh Ta’ala pada QS. Al-Baqoroh Ayat 2 yang menegaskan: “Dzalikal kitabu la raibafihi huda lil-muttaqin”.

Sementara jika disepadankan dengan kata “ingatan (adzikro), maka al aql (akal) menduduki posisi yang strategis bagi manusia. Dalam pengertian global, akal sebagai ingatan akan membantu manusia merekam seluruh atau sebagaian pengalaman yang dibutuhkan untuk mengulang, bahkan melanjutkan rangkaian pengalaman hingga menjadi sebuah mozaik yang utuh. Jika ingatan tidak eksis, maka keutuhan pengalaman, terutama dalam proses berkarya tidak akan menghadirkan produk yang utuh. Al-aql (akal) sebagai ingatan (adzikro) juga sangat menentukan bagi manusia untuk mengenal diri hingga Tuhannya.

 Al-aql (akal) juga disebut sebagai Aqlanatun (benteng) dan gurfatun (kamar). Sifat benteng dan kamar adalah melindungi, menjaga, atau memelihara. Jadi Al-aql (akal) sebagai benteng atau kamar akan memberikan perlindungan yang menghadirkan rasa aman. Al-aql (akal) sebagai benteng atau kamar akan memberikan penjagaan yang mendatagkan kenyamanan. Al-aql (akal) sebagai benteng atau kamar akan memberikan pemeliharaan yang akan melahirkan potensi untuk tumbuh dan berkembang. Dengan kalimat yang sederhana, Al-aql (akal) sebagai benteng atau kamar akan memberikan ruang dan waktu bagi manusia untuk survive.

Diyat atau pengganti juga disetarakan dengan kata Al-aql (akal). Kata Diyat atau pengganti disifatkan pada kewajiban pembayaran atau denda atas sebuah pelanggaran. Dengan pembayaran kewajiban tersebut kemudian seseorang terbebas dari sanksi pelanggaran yang telah dilakukan. Jadi Al-aql (akal) sebagai Diyat atau pengganti merupakan sebuah instrument atau perangkat bagi manusia yang memiliki fungsi penyelamatan, pembelaan (advokasi), pengampunan (amnesty), atau pembaharuan kembali (restorasi). Dengan kalimat yang sederhana dapat dikatakan bahwa Al-aql (akal) sebagai Diyat atau pengganti merupakan instrument atau perangkat bagi manusia untuk mendapatkan kembali fitrah atau kesuciannya.

Al-aql (akal) lebih akrab pula disebut al-quwwatu aqlatun (kekuatan berpikir). Sebutan ini mensifati manusia sebagai subjek yang mampu melaksanakan perintah Alloh Ta’ala yang menegaskan, “Tafakaru fi kolqillah wala tafakkaru fi zatillah”. Dalam bahasa yang lugas, dengan  Al-aql (akal) sebagai al-quwwatu aqlatun (kekuatan berpikir), manusia mendapat pengakuan memiliki kemampuan membaca, menelaah, mengkaji, bahkan meneliti, untuk menghadirkan perangkat kehidupan yang baru (jadid), maupun merenovasi (mutajaddid) sesuatu yang  telah usang dengan maksud mengakumulasi kemanfaatan bagi manusia dan alam semesta. 

Dalam sebuah alur majas metafora, Muhammad Abed Al-Jabiri menyetarakan akal atau nalar dengan sebuah cangkul yang berfungsi sebagai alat menggali tanah untuk menciptakan ruang yang disebut lubang. Sebagai sebuah alat, identitas atau esesnsinya berasal dari efektifitasnya dalam menggali. Namun sesungguhnya, kemampuan cangkul untuk menggali, ditentukan oleh bagian-bagian, struktur, dan cara menggali.

Cangkul tetap dalam esensinya, walau pada kemampuan atau kapasitasnya meraksasa karena bagian-bagian, struktur, dan cara menggalinya. Contoh, Beko (mesin penggali sejenis alat berat) atau build-dozer  tetaplah sebuah cangkul. Uraian ini untuk memperjelas bahwa esensi nalar atau akal (al-aql), tetaplah sama untuk setiap subjek atau manusia, baik di Benua Asia, Afrika, Australia, Amerika, dan Eropa. Yang membedakannya adalah: bagian, struktur, dan cara menggalinya.

Jika kita cermati alur metafora di atas secara seksama, maka kita dapat menemukan dua bagian penting, yaitu alat penggali atau cangkul dan yang tergali atau tanah sampai menjadi lubang.  Alat penggali atau cangkul diberdayakan oleh penggali ketika ia berusaha menyahuti kebutuhan menghadirkan asas atau prinsip global dalam mengubur, menempatkan, menyembunyikan, atau menghilangakan sesuatu di dalam perut bumi. Penggali kemudian melakukan proses penggalian dengan cangkulnya. Penggalian dengan perbuatan “mencangkul” menghasilkan lubang. Hasil atau produk menggali berbentuk  lubang, baik secara kualitatif maupun kuantitatif bergantung pada kondisi titik tumpu, titik kuasa sekaligus energy yang bekerja, dan beban yang digali. Kualitas dan kuantitas lubang yang dihasilkan atau lubang sebagai intaj (produk) merupakan asas atau prinsip dalam mengubur, menempatkan, menyembunyikan, atau menghilangakan sesuatu di dalam perut bumi. Untuk menambah keyakinan bahwa lubang adalah sebuah asas, maka kita butuh mengajuan satu pertanyaan, yaitu bagaimana kita bisa mengubur kalau tak ada lubang?

Lalande dengan cukup piawai dan jeli dapat mengenal esensi nalar atau akal (al-aql) yang diurai dalam alur metafora terdahulu. Dia secara lugas membagi esensi nalar atau akal (al-aql) menjadi dua, yaitu: pembentuk dan yang tebentuk.  Nalar atau akal (al-aql) pembentuk diartikan sebagai aktivitas kognitif yang dilakukan pikiran ketika mengkaji, menelaah, membentuk konsep, dan merumuskan prinsip-prinsip dasar. Dalam penjelasan yang lain dia menyatakan bahwa nalar atau akal (al-aql) pembentuk adalah naluri yang dengannya manusia mampu menarik asas-asas umum berdasarkan pemahamannya terhadap hubungan antara segala sesuatu. Nalar atau akal (al-aql) terbentuk diartikan sebagai asas-asas umum, rumusan teori, atau prinsip dasar hasil aktivitas kognitip yang digunakan manusia sebagai pegangan dalam berargumentasi (istidlal).

Sampai pada uraian ini, author (penulis) berharap reader (pembaca) sepaham tentang al-aql (akal) atau nalar sebagai perangkat atau pembentuk maupun terbentuk. Reader (pembaca) diharapkan memahami bahwa aql (akal) atau nalar sebagai perangkat atau pembentuk berproses dengan mengamati, mendalami atau menenggelamkan diri dalam alam objek, dan berujung pada capaian berupa azas, prinsip, atau rumusan teori yang diyakini sekaligus dijadikan sebagai dasar bereaksi terhadap aksi-aksi yang ditemu-kenali dalam penggal pengalaman yang bersifat futuristic. Sementara itu, ketika nalar pembentuk berhasil memperoduksi azas, prinsip, atau rumusan teori , maka seketika itu juga hadir unit baru yang progressive yang disebut  nalar terbentuk (pemikiran).

Author (penulis) tidak meragukan reader (pembaca). Juga tidak akan berkelidan dalam menguraikan pasal-pasal tentang nalar pembentuk dan nalar terbentuk. Author (penulis) hanya berusaha memastikan bahwa nalar pembentuk adalah perangkat yang dimiliki oleh setiap manusia tanpa kecuali. Perangkat inilah yang membedakan esensi manusia dengan binatang atau disebut sebagai Al-quwwah An-natiqoh. Akal sebagai perangkat inilah yang berkerja keras dalam system daya manusia untuk mengurai kebutuhan dasar fisiologis (psychological needs), rasa aman, (safety and security needs),  kasih sayang dan rasa memiliki (love and belonging needs), harga diri (esteem needs) dan mengaktualisasi diri (self actualization). Hasil usaha nalar pembentuk mengurai dalam tadwin (bentuk) hukum, kaedah, asas, atau prinsip sebagai landasan menilai, mempertimbangkan, beragumentasi (istidlal), me-revew (mengulas), serta merancang-bangun teknik (engineering ) memenuhi fisiologis (psychological needs), rasa aman, (safety and security needs),  kasih sayang dan rasa memiliki (love and belonging needs), harga diri (esteem needs) dan mengaktualisasi diri (self actualization) inilah yang disebut nalar terbentuk.

Selain harapan di atas, Reader (pembaca) diharapkan memahami bahwa aql (akal) atau nalar sebagai perangkat disebut dengan term yang berbeda-beda. Agar tidak dibingungkan oleh term di pelbagai Negara atau Benua, perlu diketahui juga bahwa Lalande di Francis menyebut al-aql (akal) atau nalar sebagai perangkat dengan sebutan la raison constituent. Di Indonesia, disebut sebagai nalar aktif atau nalar pembentuk. Sementara itu Abed al-Jabiri di Afrika dan Arab, menamakannya sebagai Al-Aql Al.-Mukawwin au al-fa’il.

Selanjutnya al-aql (akal) atau nalar (pemikiran) dalam term yang ditemukan Lalande di Francis disebut la raisan constetuee. Di Indonesia dikenal sebagai nalar terbentuk atau nalar dominan. Sementara itu, Abed al-Jabiri di Afrika dan Arab, menamakannya sebagai Al-Aql Al.Mukawwan au as-said.

Setelah memastikan beberapa hal di atas, Author (penulis) sudah cukup terbebas dari keniscayaan memastikan hadirnya pesepsi yang terang dan gamblang tentang Al-Aql Al.-Mukawwin dan Al-Aql Al.Mukawwan di antara reader (pembaca). Sekarang, Author (penulis) berkenan mengajak para pembaca untuk memusatkan perhatian pada la raisan constetuee atau Al-Aql Al.Mukawwan au as-said (nalar terbentuk). Alasan penulis menggiring ke arah ini karena bab yang akan diulas terkait dengan pemikiran (Al-Aql Al.Mukawwan), sebagai produk (intaj) Al-Aql Al.-Mukawwin (akal sebagai perangkat).

Menurut para ahli, termasuk Abed Al-Jabiri, Al-Aql Al.-Mukawwin dan Al-Aql Al.Mukawwan memiliki perbedaan yang signifikan. Namun demikian, para ahli juga menegaskan agar kita tidak abai terhadap hubungan antar keduanya. Mereka mengulas bahwa memang benar Al-Aql Al.Mukawwan dalam tadwin (bentuk) hukum, kaedah, asas, teori atau prinsip merupakan produk (intaj) Al-Aql Al.-Mukawwin (akal sebagai perangkat). Namun pada periode atau masa tertentu Al-Aql Al.-Mukawwin (akal sebagai perangkat) akan bekerja berbasis hukum, kaedah, asas, teori atau prinsip yang merupakan Al-Aql Al.Mukawwan (akal/nalar tebentuk).

Memperhatiakn revew (ulasan) ahli-ahli di atas, dapat dipastikan bahwa ada relatifitas basis kerja Al-Aql Al.-Mukawwin dan betuk Al-Aql Al.Mukawwan. Pada saat tertentu hukum, kaedah, asas, teori atau prinsip adalah Al-Aql Al.-Mukawwin, sedangkan pada waktu yang lain hukum, kaedah, asas, teori atau prinsip yang merupakan Al-Aql Al.Mukawwan (akal/nalar tebentuk). Artinya basis Al-Aql Al.-Mukawwin dan bentuk Al-Aql Al.Mukawwan, memiliki periodeisasi atau masa tertentu.

Dengan memahami secara tepat esensi relatifitas basis kerja Al-Aql Al.-Mukawwin dan bentuk Al-Aql Al.Mukawwan, kita dapat menghilangkan keraguan sekaligus mengurai perdebatan (algazwu al-fikr) tentang fakta bahwa pemikiran sebagai Al-Aql Al.Mukawwan adalah produk kebudayaan tertentu. Dengan demikian, pemikiran sebagai Al-Aql Al.Mukawwan akan memiliki ke-khasan atau keunikan tersendiri.

Ke-khasan atau keunikan pemikiran sebagai Al-Aql Al.Mukawwan atau nalar terbentuk sangat interesting (menarik) diselisik. Menenggelamkan diri dalam samudera pemikiran berarti belajar sungguh-sungguh menjaring ilmu pengetahuan. Samudera pemikiran sesungguhnya epistemology yang meliputi beberapa aspek antara lain:, hakekat ilmu pengetahuan, sumber-sumber dan ruang lingkup ilmu penegtahun, skepsitisme (keraguan), dan justifikasi ilmu pengetahuan.

  Pemikiran dengan keunikannya akan membantu manusia mendapatkan kemutlakannya sebagai ciptaan paling sempurna. Pemikian sebagai sebuah epistemology memiliki muatan-muatan membumikan sekaligus melangitkan manusia. Hazanah pemikiran sangat kaya dengan tuntunan dan lapang dalam thoriqoh atau jalan menuju terminal perjalanan manusia. Keunggulan pemikiran ini dibangun oleh unit-unit ke-ilmuan yang saling berhubungan antara yang satu dengan yang lain.

Prof. Dr. H. M. Amin Abdullah, mengulas bahwa unit atau bagian keilmuan yang membangun pemikiran yang mampu meng-hebatkan manusia terdiri atas: ilmu keagamaan yang bersumber pada teks-teks (hadlaah al-Nash), ilmu-ilmu social dan  ilmu-ilmu kealaman (hadlarah al-ilm), dan bagian keilmuan etis-filosofis (hadlarah al-falsafah). Inilah rahasia yang menghadirkan keunggulan pemikian sebagai epistemology, sekalipun sampai dengan waktu yang tak teduga kita niscaya “never give up” (tidak pernah menyerah) untuk istiqomah meruntuhkan batas-batas atau blok-blok budaya pendukung masing-masing ilmu-ilmu tersebut di atas yang hingga kini masih selalu ada.

Saran Prof. Dr. H. M. Amin Abdullah untuk meluluh-lantahkan tembok dan benteng pembatas atau pelindung jarak antar keilmuan ini bukan hal yang mudah dan main-main. Saran ini sangat penting dan merupakan effort (usaha)  menjawab sense of academic crisis (kegelisahan akademik) yang penting (important). Kalau ini tidak diikhtiyarkan, maka mungkin saja terjadi fanatisme (narrow-mindedness) yang berlebih, kalau tidak boleh disebut sebagai peristiwa partikularitas disiplin keilmuan.

Pemikiran yang terlanjur menilai bahwa sebuah disiplin ilmu tidak membutuhkan support displin ilmu lain sekaligus kultur pendukungnya (sufficensy), akan menjadi poor (miskin). Artinya, sufficensy tersebut cenderung akan banyak didebat oleh perspektif dan ujungnya spectrum  sufficensy tersebut tidak mampu menembus batas atau blok ilmu-ilmu di sekitarnya. Akibat langsung dari sufficensy adalah tertutupnya kran perkembangan ilmu pengetahuan.

Sebagai contoh: ketika pembacaan teks al-qur’an yang menyatakan “bumi dihamparkan”, dengan semata-mata menggunakan pen-sakralan teks (ibadatun nusukh), maka tentu akan menghadirkan debatable yang tajam, terutama dengan eksperimen pelayaran Fernando de Malgehaens  dengan misi mengelilingi dunia yang berangkat dari dan berakhir di titik A serta berkesimpulan, “bumi itu bulat.” Ekstremnya, secara subjektif akan mengemuka keraguan atau kegaluan bagi pemeluk Islam karena teks yang diimani, terbantah kebenarannya oleh perspektif yang berbeda. Lain halnya jika isi teks dibaca dengan support ilmu-ilmu humaniora, seperti Bahasa dan Sastra Arab yang kuat, serta didialogkan dengan ilmu ke-alaman, maka perdebatan dengan konsekuensi kemungkinan hadirnya kegalauan, dapat dielakkan. Setidak-tidaknya karena ditemukan makna yang mensepadankan perspektif yang berbeda, seperti hamparan semakna dengan tempat tinggal yang luas. Sebaliknya jika ada pertanyaan yang mencolek pemikiran dengan satu tema, mengapa bumi bulat, bukan berbentuk segitiga? Dapat dipastikan bahwa bila ilmu-ilmu ke-alaman tidak terintegrasi dan terkoneksi dengan ilmu-ilmu keagamaan, maka pemikiran manusia dalam memberi istidlal (argumentasi) terkait dengan pertanyaan tersebut akan menjadi gamang.

Gelinding bola dialog ini telah sampai pada pokok bahasan yang kita hajatkan. Seolah-olah kita telah mengambil pesanan cangkul dan pisau bedah dari seorang patriot (pandai besi) untuk menggali lubang dan menguliti kambing yang dipotong jagal. Denotasinya, kita telah berhasil membongkar file catalog perpustakaan tentang sebuah kitab babon yang berisi teori yang kita butuhkan untuk mendialogkan atau menganalisa materi pokok yang kita bahas.

Dalam konteks ini, New Normal adalah pokok bahasan kita. Term New Normal ini dipublikasi dalam beberapa momentum oleh para ahli dan praktisi. Petama, Rich Miller dan Mattew Benjamin pada tahun 2007-2008 ketika musim krisis ekonomi keuangan. Mereka menegaskan para digma baru setelah krisis keuangan dalam sebuah jurnal yang berjudul: “Post Subprime Economy Means Subpar Growth As New Norman In U.S.” yang ditebitkan di Bloomberg pada 18 Mei 2008. Kedua, Paul Glover dalam kolom opini yang berjudul “Prapare For The Best” yang dimuat oleh media daing Philadephia Citypaper pada tanggal 29 Januai 2009. Inti opini Paul Glover adalah ide tentang menghadapi Global Waming. Ketiga, New Normal kembali mengemuka melalui Ketua PIMCO, Mohammed A. El-Erian dalam kuliah umum yang berjudul “Navigating The New Normal In Industial Countries.”  Selanjutnya New Normal  semakin mencuat sebagai trending topic tatkala pandemic Covid 19.

Mencermati kehadiran term New Normal  pada beberapa karya, gagasan, dan keputusan para ahli dan praktisi di atas, maka dapat dipastikan bahwa New Normal adalah sebuah paradigm baru yang dihadikan untuk perangkat proteksi terhadap hambatan, tantangan, ancaman, dan gangguan yang sudah dialami, kemudian masih, dan bepeluang terjadi secara futuristic. Atinya, New Normal sebagai paradigm baru adalah asas, prinsip, hukum, atau pun rumusan teori, hasil pergolakan manusia dengan menggunakan akal sebagai perangkat (al-aql Al-Mukawwin)  untuk merancang-bangun ketahanan sekaligus pertahanan dari problem yang bersifat meluas dan mengancam eksistensi manusia. Dengan demikian maka New Normal adalah nalar atau akal terbentuk atau dominan yang di bagian terdahulu disebut juga la raison constituee (Al-aql Al-Mukawwan).

Berdasarkan revew di atas, maka status New Normal sebagai ikhtiyar merancang-bangun ketahanan sekaligus pertahanan dari problem hambatan, tantangan, ancaman, dan gangguan yang sudah dialami, kemudian masih, dan bepeluang terjadi secara futuristic serta bersifat meluas dan mengancam eksistensi manusia, tentu menjadi keniscayaan. Yang menjadi catatan penting adalah  New Nomal bukan hasil dari partikulasi atau sufficient yang bersifat narrow maindedness. New Normal sebagai sebuah intaj akal sebagai perangkat (al-aql Al-Mukawwin) harus integrative-interkonektif sehingga seksama dalam pertimbangan dan efektif dalam fungsinya sebagai potektor dan problem solving. Wallohu’alamu.

Sabtu, 30 Mei 2020

Kultur Wasathiyah Bangun Panggung Dasar Negara

(Pembacaan Sikap Moderasi Islam Dalam Proses Membidani Pancasila)

Dr. Jamiluddin, M.Pd
SEJARAH bertutur panjang tentang kearifan para pejuang. Dari usaha perlawanan, perjuangan. Pergerakan, prepare, hingga proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, tercatat secara apik dalam catatan sejarah bangsa kita. Salah satu catatan penting dan seksi dalam sejarah pejuang kita adalah proses membidani Dasar Negara. Dalam proses itu ada gelar wawasan intelektualitas, ada kepentingan aliran, ada perdebatan, dan sekaligus ada sebuah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan.

Gelar wawasan intelektualitas hadir ketika para pejuang berusaha menjawab kegalauan warga bangsa mencari formula Dasar Negara yang patut, tepat, dan merefresentasi warna-warni Nusantara. Siklus pencarian ini tidak mudah. Ragam warna-warni Nusantara menjadi pemicu kepentingan aliran yang diusung pengikutnya. Perdebatan menjadi ramai mengemuka. Semakin tak mudah dan menantang jika variable mainstream-minoritas menjadi varian yang dilibatkan.

Betapa tak mudahnya siklus pencarian itu, tetapi faktanya Dasar Negara berhasil dibidani melalui proses kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawatan perwakilan. Dalam sesi inilah siklus pencarian Dasar Negara ini seksi diurai. Bayangkan saja proses elaborasi kepentingan aliran yang sedemikian banyak ditambah realitas mainstream-minoritas sebagaimana diuraikan di atas. Tentu ada seni meramu nada gagasan yang bertangga, ada kapasitas komunikasi politik yang mendorong koalisi, ada kultur integritas untuk mempertahankan keutuhan, dan yang terpenting adalah adanya akhlak mulia yang berperan dalam elaborasi kepentingan tesebut.

Semua prosesi pencarian akan elok dan nikmat disuguhkan bila proses elaborasi kepentingan dalam pencarian Dasar Negara tersebut di-searching dan dikaji melalui teknik pembacaan yang seksama dan menggunakan muqarrobat (pendekatan) yang tepat.  Selain itu, rangkaian penuturan akan lebih menggigit atau nendang jika author (penulis) dalam posisi outsider.

Ketika kita ingin fokus pada keinginan memastikan dominanya akhlak mulia yang berperan dalam elaborasi kepentingan pada penetapan Dasar Negara, maka kita harus membongkar sisi mainstream-minoritas dalam setiap perjumpaan atau sidang-sidang yang diselenggarakan untuk hal tersebut. Kalau kita membidik mainstream variable, maka profil demografi pada awal abad 20 haruslah ditelisik.

Pada awal abad 20 atau sekitar tahun 1900-1945, Kebangkitan Islam (Islamic Resugence) di Nusantara cukup mencolok. Islamic Resugence ini ditandai dengan bermunculannya organisasi kemasyarakatan Islam. Di antara organisasi kemasyarakatan tersebut adalah 1). Pendirian Nahdlatul Wathan di Jawa Timur, 2). Sarekat Islam pada tahun 1911 yang pada awalnya memiliki embrio bernama Sarekat Dagang Islam yang didirikan tahun 1905 oleh H. Samanhudi, 3). Lembaga Pendidikan Djami’at Chair Jakarta berdiri tahun 1905, 4). Penerbitan Majalah Al-Imam pada tahun 1906, 5). Penerbitan Majalah Al-Munir di Padang pada tahun 1911, Pendirian Muhammadiyah di Yogyakarta pada tahun 1912, 6). Pendirian Nahdlatul Ulama di Jawa Timur pada tahun 1926, 7). Pendirian Madrasah NWDI di Lombok pada tahun 1936, 8). Pendirian Madrasah NBDI di Lombok pada tahun 1942, 9). Kerabatan atau paguyuban kesultanan maupun raja-raja di Sulawesi, Maluku, Kalimantan, Bima, Sumbawa, dan lain-lain.

Data-fakta di atas menunjukkan bahwa profil demografi Nusantara awal abad 20 didominasi oleh penduduk beragama Islam.  Artinya, Islam ketika itu menjadi mainstream di Nusantara. Sebagai sebuah mainstream, tentu Islam memiliki peluang mewarnai Nusantara, setidak-tidaknya “menghijaukannya” dengan sesejuk mungkin. Dalam konteks yang kita bahas ini, sangat mungkin mainstream Islam dalam menggagas Dasar Negara akan lebih mengerucut pada Ide Dasar Ke-Islaman. Artinya, Islam sangat berpeluang menggiring warga bangsa untuk memilih Dasar Negara yang akan melahirkan terbentuknya khilafah atau Negara Islam.

Peluang-peluang yang dimiliki mainstream Islam sebagaimana uraian di atas tidak diikhtiyarkan sepenuhnya. Ruang-ruang untuk minoritas dirawat dan dijaga dengan semangat tasamuh (toleransi). Perlakuan ini kemudian menghadirkan rasa aman dan nyaman bagi kelompok minoritas. Dengan hadirnya rasa aman dan nyaman, kelompok minoritas akhirnya mendedikasikan diri dengan penuh kesadaran dan integrasi yang sulit dikoyak.

Realitas Islam sebagai mainstream yang tidak “pasang badan” untuk memastikan berlakunya The survival of fittest (yang kuat pasti menang), adalah kelapangan hati tokoh-tokoh Islam atau nasionalis yang beragama Islam dalam menggagas ide rumusan Dasar Negara yang universal. Muhammad Yamin pada Sidang BPUPKI tanggal 29 Mei samapi 1 Juni 1945 dengan kapasitas intelektualitas yang tak diragukan dan didorong oleh hati yang tulus mengajukan rumusan Dasar Negara yang tindak tendensius Islami (green). Demikian pula Prof. Dr Soepomo dan Ir. Soekarno. Rerata mereka layaknya seorang yang lepas dari pasungan kepentingan kelompok dan perseorangan mengusung Peri Kebangsaan, Peri Kemanusiaan, Peri Ketuhanan, Peri Kerakyatan dan Kesejahteraan Rakyat sebagai rumusan Dasar Negara yang oleh Ir. Soekarno menyebutnya sebagai Pancasila dalam pidatonya yang berjudul “Hari Lahirnya Pancasila” di dalam sidang BPUPKI tanggal 1 Juni 1945.

Untuk memformulasikan rumusan Dasar Negara sebagaimana digagas oleh para tokoh bangsa tersebut, BPUPKI kemudian membentuk Panitia Sembilan yang beranggotakan: Ir. Soekarno, Drs. H. M. Hatta, M. Yamin, Mr. Ahmad Subarjo, Mr. AA. Maramis, Abdul Kahar Muzakkar, Wahid Hasyim, H. Agus Salim, dan Abi Kusno Cokrosuyoso. Dengan kepiawaian Panitia Sembilan, terkonstruklah rumusan Pancasila Dasar Negara yang dikenal dengan sebutan Jakarta Charter (Piagam Jakarta).

Rumusan intaj (hasil) kerja Panitia Sembilan dalam  Jakarta Charter adalah sebagai berikut: Pancasila. 1). Ketuhanan Yang Maha Esa Dengan Kewajiban Menjalankan Syari’at Islam Bagi Pemeluknya, 2). Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradab, 3). Persatuan Indonesia, 4). Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan Perwakilan, 5). Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.

Jakarta Charter dalam tinjauan politik yang berkeadilan sesungguhnya sudah patut dan teapat. Namun demikian akhirnya menjadi debatable. Tujuh kata pada sila pertama setelah Kalimat Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi pusat perhatian.  Secara objektiv kalimat “Dengan Kewajiban Menjalankan Syari’at Islam Bagi Pemeluknya”  mengandung makna pengecualian sekaligus pengkhususan dalam penyelenggaraannya. Jadi, bagi non muslim tidak akan terusik oleh adanya tujuh kata di atas. Namun demikian, ketika tujuh kata ini tergugat pada siding PPKI dalam rangka penetapan UUD 1945 sebagai konstitusi Negara tanggal 18 Agustus 1945, kelompok muslim mengikhlaskannya untuk dihapus. Tidak sekedar itu, bahkan yang ditinjuk sebagai juru bicara dalam pengajuan penghapusan tujuh kata itu adalah Drs. H. M. Hatta, yang tidak diragukan ketokohan secara pribadi sebagai seorang muslim taat lagi soleh.

Kelapangan data kelompok muslim dalam proses perumusan Dasar Negara hingga perubahan hasilnya yang tertuang dalam Jakarta Charter adalah hal yang mengalihkan hampir seluruh perhatian warga bangsa, baik nasional maupun dunia internasional. Pendorong semua perhatian tertuju padanya adalah prrtanyaannya sederhana saja, yakni: “Semudah itukah?”

Fakta atau realita yang tercatat dalam sejarah memang kelapangan dada kelompok muslim menerima Dasar Negara Pancasila sekaligus perubahan tujuah kalimat pada sila pertama sebagaimana tetera dalam Jakarta Charter memang sedemikian adanya. Bukan karena kelompok muslim adalah negosiator yang lemah tetapi justeru menjadi bagian warga bangsa yang sangat kuat mengendalikan diri. Kelompok Muslim sebagai mainstream berhasil “merdeka” dari borgol keserakahan dan kesewenang-wenangan.

Sikap yang sedemikian agung dan mencengangkan hingga banyak pihak yang harus stand ovation bukan lahir begitu saja. Sikap ini adalah sebuah keyakinan yang menjadi bagian ajaran Islam yang ya’lu wala yu’la alaih. Inilah yang disebut sikap “Tasamuh” (toleransi). Sikap ini tidak berdiri sendiri tetapi terkonstruk oleh penetapan Islam dan ummatnya oleh Alloh Ta’ala sebagai Ummatan Washaton (ummat yang adil), sebagaimana dalam Firman Alloh pada QS Al-Baqoroh Ayat 143. 

Penetapan Alloh inilah yang kemudian mengkonstruk pribadi setiap muslim yang taat, khususnya pada saat penetapan Dasar Negara dan perubahan isi sila pertama pada Jakarta Charter (Piagam Jakarta), termasuk para tokoh muslim yang menjadi perwakilan kelompok muslim pada ketika itu. Kepribadian hebat itu akhirnya tidak hanya sebagai aplikasi aspek keimanan, tetapi mendarah daging hingga menjadi kultur yang di era disruption ini dikenal dengan multiculturalism. Wallohu’alamu.


Penulis adalah Sekretaris Lajnah Kaderisasi PBNW dan Tenaga Pendidik di SMA NW Pancor, Lombok Timur Nusa Tenggara Barat

Jumat, 22 Mei 2020

Korona: Stay At Home Perintah Rasulullah Saw

Oleh: Siti Raihanun (Mahasiswa Prodi Tadris Fisika UIN Mataram)

Belakangan ini paling hangat diperbincangkan warga global adalah mengenai virus corona. Hal ini terjadi karena virus tersebut sangat mudah menyangkiti dan sudah tersebar di hampir seluruh Negara. Virus corona yang pertama kali ditemukan di Wuhan, China pada akhir tahun lalu. Sementara Pemerintah Indonesia sendiri mengumumkan adanya kasus covid-19 dari bulan Maret 2020, dan telah ditetapkan sebagai pandemik global oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).

Coronavirus atau virus korona merupakan keluarga besar virus yang menyebabkan infeksi saluran pernapasan, gejala yang timbul akibat virus ini ialah hidung beringus, sakit kepala, batuk, sakit tenggorokan, demam dan merasa tidak enak badan. Namun hal yang perlu saya tegaskan beberapa virus corona dapat menyebabkan gejala yang parah, infeksinya dapat berubah menjadi bronchitis dan pneumonia yang mengakibatkan gejala seperti, demam yang mungkin cukup tinggi, batuk dengan lender, sesak napas dan nyeri dada. Infeksipun bisa semakin parah jika yang terjangkit adalah orang yang sudah memang mempunyai penyakit jantung atau paru-paru, dan pada orang yang sistem kekebalan tubuhnya lemas seperti bayi dan lansia.

Pemerintah kita di Indonesia pun menganjurkan kepada masyarakat berbagai kegiatan yang harus kita lakukan untuk mencegah tertularnya dari virus korona ini, seperti sering mencuci tangan, hindari kontak dekat dengan orang lain, menggunakan masker, menghindari menyentuh mata, hidung dan mulut, menghindari kerumunan, menghindari berjabat tangan. Selanjutnya kita harus tetap berada di dalam rumah, dan pemerintah pun sudah menerapkan atau menganjurkan physical distancing untuk kita atau seluruh warga Negara guna memutus rantai penyebaran virus ini. Physical distancing adalah pembatasan fisik atau menjaga jarak guna mengendalikan atau menghentikan penyebaran penyakit penularan virus ganas itu.
           
Jika menelusuri sejarah di zaman Rasulullah Saw pernah muncul sebuah wabah yang menular dan mematikan, yaitu wabah kusta yang melanda masyarakat Madinah. Dalam suatu riwayat disampaikan bahwa Rasulullah Saw meminta masyarakat untuk menjauhi penderita kusta. Imam Bukhari meriwayatkan hadist dari Abu Hurairah dari Nabi Saw beliau bersabda: ”Menyingkirlah dari orang-orang yang berpenyakitan kusta, seperti kamu menyingkir dari singa". Dan dalam riwayat lain, Rasulullah Saw memberikan batasan yang tegas agar kita menjaga jarak dari penyakit kusta. Selanjutnya Rasulullah Saw besabda: “Berbicaralah dengan orang yang berpenyakit kusta dalam jarak kira-kira satu tombak atau dua tombak".

Jadi sebenarnya, jaga jarak untuk menghindari penyakit menular sudah ada sejak lama. Rasulullah SAW pernah menerapkan hal ini. Rasulullah juga menganjurkan untuk isolasi bagi yang sedang sakit dengan yang sehat agar penyakit yang dialaminya tidak menular kepada orang lain. Hal ini dapat kita lihat dalam hadist Rasulullah yang artinya: “Janganlah yang sakit dicampurbaurkan dengan yang sehat” (HR Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah). Dalam Hadist lain Rasulullah Saw juga menjelaskan mengenai penanganan suatu wabah, Rasulullah Saw bersabda: ”Jika kamu mendengar wabah di suatu wilayah, maka janganlah kalian memasukinya.Tapi jika wabah di tempat kamu berada, maka jangan tinggalkan tempat itu”.
         

Pada  masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab juga yaitu pada abad ke 18 hijriyah, pernah terjadi serangan wabah yang paling berat yaitu wabah awamas atau penyakit thaun. Kenapa wabah ini dikatakan awamas atau thaun karena pusat wabah itu ada di kampung kecil yang bernama Amawas. Wabah ini telah menewaskan puluhan ribu orang, termasuk para sahabat Rasulullah Saw. Selanjutnya Amr bin Ash menggantikan gubernur sebelumnya yaitu Ubaidah bin Jarrah dan Muaz bin Jabl yang meninggal karena wabah ini. Selang beberapa waktu Amr bin Ash mengatkan bahwa wabah itu seperti api "selama masih ada kayu bakar dia akan terus menyala". Artinya adalah selama masih ada orang yang sehat, wabah akan terus menyebar dan kemudian Amr bin Ash memutuskan untuk meminta warga yang sehat untuk menyingkir ke bukit-bukit atau dalam istilah yang kita kenal sekarang ialah physical distancing.
         

Dari pembahasan di atas, maka sangat penting bagi kita untuk menjaga jarak aman saat berinteraksi dengan penderita penyakit menular seperti wabah pada saat ini, atau istilahnya melakukan physical distancing, karena social distancing atau physical distancing merupakan cara yang efektif untuk mengehentikan persebaran wabah penyakit menular baik itu wabah thaun, kusta maupun wabah korona. Namun perlu kita ketahui, setiap sesuatu yang terjadi pasti ada hikmahnya begitupun dengan wabah korona ini, mungkin dengan adanya virus ini kita menjadi lebih menjaga kebersihan, membuat kita selalu full time bersama keluarga dan sebagai penguji keimanan kita.
           

Dalam hal tersebut marilah kita belajar meneladani cara Rasulullah dalam menghadapi penyakit menular atau wabah virus  dan mari kita mengikuti instruksi atau anjuran pemerintah demi kebaikan bersama. Sekarang berdiam diri di rumah akan sangat berguna untuk seribu tahun ke depan.

Selasa, 19 Mei 2020

Belajar Online Ditengah Pandemi Virus Corona Bikin Mahasiswa Merana

Oleh : Paramita Putri Apriyani
(Mahasiswa Prodi Tadris Fisika UIN Mataram)
Pandemi corona virus disease (covid-19) membuat Negara kita Indonesia melakukan lockdown di berbagai daerah. Kebijakan yang begitu ketat itu dilakukan untuk menghambat penyebaran Covid-19.

Kebijakan pemerintah itu diterapkan untuk melindungi masyarakat dari virus tersebut dengan cara bekerja di rumah, belajar di rumah, dan beribadah di rumah, agar menjauh dari keramaian yang bisa membuat virus ini cepat menyebar.

Konteks pendidikan, dampak virus corona membuat semua kampus di Indonesia diliburkan sehingga sistem perkuliahan diganti dengan menggunakan sistem dalam jaringan yabg populer disebut belajar daring. Salah satunya kampus Universitas Islam Negeri  (UIN) Mataram yang awalnya mahasiswa sangat senang karena bisa di rumah sambil belajar dengan mudah, tetapi kenyataannya mahasiswa harus belajar melalui online.

Namun demikin, hal yang dialami oleh hampir semua mahasiswa adalah tugas yang justru makin menumpuk selama perkuliahan online, ditambah lagi tidak adanya jeda antara mata kuliah satu dengan yang lain, mengkibatkan mahasiswa menjadi tidak fokus mengikuti perkuliahan dikarenakan jadwal kuliah yang tidak sistematis.

Jika dibandingkan dengan kuliah secara langsung atau bertatap muka lebih mudah dosen menjelaskan membuat mahasiswa bisa mengerti dan tidak terlalu banyak tugas dari pada belajar melalui online, walaupun sudah dijelaskan oleh dosen melalui grup WhatsApp tetap saja sebagian mahasiswa kurang mengerti.

Pihak Kampus telah meliburkan mahasiswa selama 14 hari dan hal itu sudah berlalu, namun muncul lagi surat edaran baru yang menyatakan libur diperpanjang oleh pihak kampus sampai Juni mendatang. Hal ini menimbulkan masalah baru bagi mahasiswa karena perkuliahan dengan belajar melalui online tidak kunjung berhenti.

Pemerintah menghimbau, jika kesadaran masyarakat sama dengan upaya yang dilakukan pemerintah, puncaknya akan berakhir Juni mendatang. Namun maksud dari puncak ini hanyalah lampiran data jumlah yang positif covid-19, meninggal, dan sembuh. Pertanyaan nya, apakah virus ini akan hilang setelah itu? Tentu tidak. Hal ini akan terus berlangsung jika kita TIDAK MEMATUHI PERATURAN PEMERINTAH  yang harus tetap di rumah saja dana hal itu cepata menyebarkan virus.

Sebenarnya kami mempunyai banyak keluh kesah tentang belajar melalui online, bagaimana tidak karena banyak tugas yang diberikan dosen setiap pertemuan atau setiap hari nya, tidak pernah ada dalam seminggu membuat mahasiswa beristirahat malah banyak diberikan tugas. Mahasiswa juga harus mengerjakan tugas rumah mereka seakan kami kewalahan yang mana yang harus didahulukan antara tugas dosen atau perintah ibu, belum lagi teman-teman yang tinggal di daerah yang jaringan sangat minim yang membuat mereka harus mencari sinyal untuk mengirim tugas. Itu juga bisa membuat mahasiswa stres.

Sebenarnya dalam wabah ini seseorang tidak boleh terlalu stres bisa membuat Daya tubuh menurun dan bisa membuat virus cepat masuk dalam tubuh. Terlebih media juga membesar-besarkan berita virus corona ini. Angaka kematian bisa di manipulasi untuk menyebar ketakutan. Bisa saja orang yang meninggal karena sakit lain dikatakan meninggal karena virus ini.

Kami tentu sangat menghargai setiap dosen pengampu  mata kuliah, dan saya yakin mereka juga berpikir demikian dan mencari segala cara agar kami tetap mendapatkan pembelajaran seperti biasanya di tengah kondisi sekarang. Kami juga sebagai mahasiswa tidak boleh terlalu mengeluhkan keadaan karena setiap dosen yang memberikan tugas juga mempertimbangkan dengan baik dan memberikan toleransi pengerjaan tugas kuliah.

Saat ini, yang bisa kita lakukan hanyalah berdoa agar virus ini cepat berlalu. Karena pemerintah indonesia juga kewalahan dalam mengambil langkah yang tepat. Marilah kita saling bekerjasama untuk memerangi virus ini, pemerintah mengatur dan masyarakat mentaati peraturan. Dan kita bisa kembali belajar secara normal dan berinteraksi dengan teman-teman.

Senin, 18 Mei 2020

“MENDIALOGKAN AYAT-AYAT KEBANGKITAN NASIONAL”

(Trigger Kesadaran Kolektif dan Sikap Tajdid Dalam Melawan Covid 19 Melalui Pemahaman Spirit 20 Mei Dalam Perspektif Islam)

Oleh: Dr. Jamiluddin, M.Pd
Sekretaris Lajnah Kaderisasi PBNW dan Tenaga Pendidik di SMA NW Pancor

Perbincangan atau pun telaah tentang sejarah Kebangkitan Nasional bukan suatu yang baru kalau tidak boleh dibilang lawas. Karena itu sudah biasa dikonsumsi dan akibatnya nyaris tidak menarik. Bukan karena pesan-pesan rasa kebangsaannya, tetapi karena peta perbincangan tentang hal tersebut selalu berulang. Tidak ada sajian-sajian inovatif, apalagi keberanian untuk mengintegrasikan pesan-pesan momentum Kebangkitan Nasional tersebut dengan perspektif disiplin ilmu tertentu, khususnya dengan ilmu-ilmu keislaman.

Berikut ini kita akan mencoba mendialogkan peristiwa Kebangkitan Nasional 20 Mei 1908 dengan beberapa ayat dalam kitabullah. Tujuan perbincangan ini tidak neko-neko. Hanya untuk memperkaya hazanah ilmu pengetahuan dan menerbitkan selera anak-anak Indonesia untuk menenggelamkan diri dalam menghayati peristiwa sejarah bangsanya, sehingga memiliki keunnggulan dalam karakter kebangsaan dan tidak kehilangan jati diri.

Walaupun perbincangan kita sekarang ini tidak tentang sejarah murni (pure history), namun kita tentu tidak bisa menjauhkan diri secara total dari keniscayaan mengemukakan materi kesejarahan terkait Kebangkitan Nasional. Kita memerlukan perbincangan aspek kesejarahan Kebangkitan Nasional itu dalam posisinya sebagai pusat kajian. Selanjutnya, aspek kesejarahan Kebangkitan Nasional didialogkan dengan pisau bedah yang diambil (taken) dari maha sumber inspirasi pengembangan ilmu pengetahuan yang tertuang pada ayat-ayat dalam kitabullah.

Agar perbincangan ini lebih bersifat runtut dan mendasar, tidak keliru jika kita awali melalui pintu masuk yang mengantar kita ke ruang asbabul wurut kehadiran Kebangkitan Nasional. Sementara itu, pintu masuk ke ruang  asbabul wurut kehadiran Kebangkitan Nasional adalah ikhtiyar bangsa kita merebut kemerdekaannya.

Dalam sejarah merebut kembali kemerdekaan, bangsa kita melalui proses pengalaman yang panjang dan berliku. Hitung saja interval antara tahun 1600 sampai 1945. Pada awalnya, bangsa-bangsa asing datang  ke Nusantara bukan untuk menjajah. Rata-rata mereka membawa misi penjelajahan dan perdagangan. Oleh sebab itu, resistant (perlawanan) tidak berlangsung sejak kedatangan mereka. Namun demikian, dalam menyambut misi bangsa asing itu, terutama sekali misi dagang mereka, anak-anak Nusantara tidak ragu dalam menunjukkan sikap kompetitifnya. Dengan style (gaya) sambutan itu, bangsa-bangsa asing tersebut merasa kesulitan menjalankan misinya. Fakta pengalaman itu menggoda bangsa-bangsa asing itu membuat keputusan untuk melakukan sesuatu, hatta sebuah kecurangan. Dengan sebuah perencanaan yang cukup matang, bangsa asing itu melakukan rekayasa perdagangan yang merugikan bangsa kita.

Tidak cukup sekedar merekayasa politik dagangnya, bangsa-bangsa asing itu pun memprovokasi kerajaan-kerajaan bawahan agar melakukan perlawanan kepada kerajaan besar yang menjadi induknya. Devide et impera semakin mengacaukan integrasi bangsa kita. Misi dagang bangsa-bangsa asing itu-pun akhirnya berubah total menjadi misi politik imprealisme. Keadaan ini men-trigger terjadinya gesekan, bahkan akhirnya berujung perang. Kelicikan bangsa asing yang berubah menjadi imprealis tersebut memuncak. Mereka gencar merusak ukhuwah wathaniyah dan makin bernafsu menguasai kekayaan nusantara. Kezaliman bangsa imprealis ini akhirnya tak urungkan geliat anak-anak Nusantara menabuh genderang resistant (perlawanan).

Resistant (perlawanan) bangsa kita dimulai dengan perjuangan yang dimobilisasi oleh para raja di seluruh Nusantara. Walaupun merepotkan imprealis, perjuangan para raja itu akhirnya dapat dipatahkan. Satu persatu, raja-raja di Nusantara tunduk dan takluk di bawah kekuasaan imprealis. Keadaan ini tidak memadamkan api perjuangan bangsa. Para mujahid dan tokoh-tokoh bangsa yang berjiwa besar dan memiliki semangat kebangsaan yang hebat kembali melakukan perlawanan secara sporadic.

Sampai awal abad 20 siklus perjuangan para raja dan mujahid terus berlangsung. Gugur satu tumbuh seribu. Mirisnya, satu pun dari perjuangan itu belum berhasil mengantar bangsa kita ke depan pintu gerbang kemerdekaan. Dengan kata lain perjuangan bangsa kita yang jelas bertujuan mulia selalu dipatahkan oleh kezaliman bangsaa imprealis. Kondisi objektif adanya gap tujuan pejuangan bangsa kita dengan hasilnya ini dapat dipahami dengan mengurai sebuah realitas bahwa tujuan memang penting, tetapi cara mencapainya sudah pasti sangat penting. Tujuan masih ditingkat idealisme, sedangkan cara mencapainya telah di zona praxis. Tujuan dengan proses perumusannya bisa ideal dan elegan. Pada proses pencapaiannya, tidak sedikit challenger dan trouble membayangi, bahkan mengggurkan idealism dan perfectionism tujuan tersebut.

Premis-premis di atas tidak merendahkan posisi tahap perumusan tujuan, tetapi mengilustrasikan kecenderungan terjadinya gap antara tujuan dengan ikhtiyar serta intaj (produk) adalah sunnatullah. Ingat dan sadarilah bahwa tujuan itu juga makhluk yang wajib memiliki cela atau keterbatasan. Sementara itu, cela atau keterbatasan dari sebuah tujuan dan cara mencapainya, cenderung akan terlihat ketika tujuan itu diikhtiyarkan atau bukan ketika dirumuskan. Atinya, pada waktu perumusan, cela dan keterbatasannya diabaikan, serta kadang-kadang tidak terdeteksi sama-sekali. Oleh sebab itu seringkali tidak terantisipasi, bahkan ketika terdeteksi, kerap kali memunculkan kesulitan mereaksi secara cepat untuk menentukan penawar atau solusi yang efektif.

Dalam Qur’an Surat Lukman ayat 34, kesulitan ini dinyatakan dalam firman Alloh yang berbunyi: “Wama tadri nafsun madza taksibu ghodan” yang berarti: setiap manusia tidak memiliki kapasitas untuk menentukan secara pasti dan tepat apa yang hendak ia dikerjakan esok hari.

Walaupun telah dipahami sebagai sebuah sunnatullah, fakta gap antara tujuan dengan ikhtiyar serta intaj (produk) pejuangan bangsa kita tersebut memicu kegalauan akademik (sense of academic crisis) para nasionalis dari golongan cendikia. Untuk menjawab kegalauan itu, mereka mensimulasikan beberapa fakta perjuangan, bahkan merujuk beberapa contoh pecapaian bangsa-bangsa di dunia sebagai refrence dan perbandingan. Beberapa contoh pencapaian dimaksud antara lain: (1). Berkembangnya liberalism dan faham human right, (2).  Diterapkannya pendidikan system barat dalam pelaksanaan politik etis pada tahun 1902 yang memberikan pengalaman luas bagi pelajar, (3). Kemenangan Jepang terhadap Rusia pada tahun 1905 yang membangkitkan semangat masyarakat Asia-Afrika dalam melawan penjajah, (4). Gerakan Turki Muda pada tahun 1896-1918 yang betujuan mengobaran nasionalisme, (5). Pergerakan Pan-Islamisme Djamaluddin Al-Afgani yang meporak-porandakan imprealisme Barat, dan (6). Pergerakan nasionalisme India, Tiongkok, serta Philifina.

Analisis para cerdik-pandai yang memiliki nasionalisme “setengah dewa” tersebut akhirnya dapat menjawab muatan sense of academic crisis terkait kegagalan perjuangan memukul mundur imprealisme di Nusantara. Kata kunci jawaban yang diperoleh dari hasil telaah mereka adalah bahwa selama ini perjuangan bangsa kita gagal karena belum terorganisasi dengan rapi. Dengan kata lain kita perlu melakukan “Pergerakan dan Pejuangan Yang Terganisasi, simultan, dan massif”.  Artinya, setidak-tidaknya ada 2 hal yang sangat dipentingkan dalam pergerakan dan perjuangan menumpas kekuasaan penjajah, yaitu: Pertama, kesadaran kolektif yang dihadirkan oleh rasa senasib, sebangsa, dan setanah air. Kedua. Modernisasi pergerakan dengan ciri adanya pengorganisasian gerakan yang ditopang oleh kapasitas intlektualitas, komunikasi politik, dan jaringan, baik dalam lingkup regional, nasional, serta dunia internasional.

Menukil ayat-ayat Alloh dalam mengurai lebih lanjut jawaban atas sense of academic crisis para pejuang dan kaum nasionalis kita, dipastikan akan mengantar kita pada pemahaman yang tepat dan mantap terhadap kegagalan perjuangan bangsa sebagaimana fakta sejarah di atas. salah-satu ayat yang dapat diajukan adalah: QS. As-Shaaf ayat 4 yang artinya: “Alloh sangat menyukai orang-orang yang berperang dengan barisan yang rapi dan kokoh bagai sebuah bangunan yang tersusun dengan konstruksi kuat”. Ayat ini secara terang dan jelas memberikan petunjuk tentang strategi berperang atau menghadapi lawan. Dalam sebuah pertempuran atau peperangan, ayat ini mengajarkan bahwa para pihak membutuhkan sebuah pengorganisasian pasukan, bahkan sistem makro kenegaraannya. Perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, evaluasi, dan tindakan lanjutan akibat peperangan harus utuh dan singkron. Dalam konteks resistant bangsa kita terhadap bangsa imprealis yang teus gagal sebagaimana paparan fakta sejarah di atas, tampaknya disebabkan oleh belum adanya upaya pengorganisasian yang utuh dan singkron sebagaimana petunjuk ayat di atas.

Terkait dengan pentingnya pengorganisasian dalam setiap gerakan, golongan harakiyyun (kaum pergerakan) menegaskan bahwa: “Al-haqqu bila nizhom yaglibuhul bathil binnizhom” (kebaikan yang tidak diorganisasi dengan benar akan tekalahkan oleh kejahatan yang terorganisasi secara tepat).

Kesadaran para nasionalis dan cerdik pandai tentang perlunya melakukan “Pergerakan dan Pejuangan Yang Terganisasi, simultan, dan massif” sebagaimana uraian di atas, akhirnya menghadirkan suatu keputusan untuk mengkonstruk sebuah paradigma gerakan yang mengakar dengan usaha pencerdasan bangsa dan melangit dengan sayap kebangsaan yang mengepak dari Sabang sampai Merauke. Setelah tanpa enggan belajar dari Serikat Dagang Islam yang lahir tahun 1905 di Yogyakarta, akhirnya pada tanggal 20 Mei 1908, Dokter. Soetomo, Dokter. Wahidin Sudirohusodo, Soewardi Suryaningrat, dan beberapa orang mahasiswa STOVIA, seperti Gunawan Mangoenkuesoemo, mengawali paradigma baru ini dengan pendirian Budi Utomo. Kemudian pada perkembangannya, Dokter. Wahidin Sudirohusodo menggagas Budi Utomo ini untuk focus pada pengorganisasian kegiatan yang bersifat sosial, ekonomi, dan kebudayaan.  Pengkhususan sifat gerakan ini tentu merupakan sebuah proteksi yang strategis agar terhindar dari kecurigaan penjajah. Selain itu, pengkhususan sifat gerakan Budi Utomo awalnya diperuntukkan bagi golongan cendikia Jawa dalam misi pendidikan dan kesejahteraan.

Ketika dipimpin Noto Dirodjo, Budi Utomo berhasil digiring hingga masuk ke ruang politik. Kekentalan gerakan politik Budi Utomo ini semakin berasa ketika Douwes Deeker yang merupakan seorang Indo-Belanda berhasil mempublikasikan secara massif melalui media massa. Salah satu sukses propaganda Douwes Deeker adalah pemahaman cendekia Jawa yang mantap tentang kebangsaan dan tanah air. Pemahaman yang sedemikian rupa itu pun kemudian menjadikan Budi Utomo sebagai organisasi yang terbuka untuk setiap putera-puteri Nusantara. Dengan sifat keterbukaannya, Budi Utomo kemudian menyelenggarakan Kongres Budi Utomo pada tanggal 3-5 Oktober 1908 yang behasil menetapkan pemekaran zona gerakan yang ditandai dengan pembentukan beberapa  cabang, di antaranya: Bogor, Bandung, Magelang, Yogyakarta, Surabaya, dan Ponorogo. Pada Kongres ini pun ditunjuk Raden Adipati Tirtokuesoemo, mantan Bupati Karanganyar sebagai Ketua.

Perluasan peruntukan Budi Utomo dari hanya untuk ningrat Jawa hingga untuk seluruh anak-anak Nusantara menggambarkan adanya sebuah change (perubahan), terutama pada model orientasi pergerakan dan perjuangan. Anak-anak Nusantara telah diantar oleh Budi Utomo menggaris-bawahi pentingnya pesaudaraan dan kebersamaan untuk melawan politik Devide Et Impera. Arah orientasi pergerakan dan perjuangan ini sesungguhnya telah terilhami oleh ayat Alloh Ta’ala yang menegaskan, “Hai orang-orang yang beriman, apabila kalian bertemu musuh, maka beteguh hatilah, bezikir sebanyak-bayaknya agar kalian menang. Dan taatlah kepada Alloh dan Rasululloh, janganlah beselisih karena akan menghadirkan rasa gentar dan akan melemahkan pertahanan kalian. Perbanyak sabar karena Alloh bersama orang-orang yang sabar”.(QS. Al-Anfal Ayat 45-46)


Setelah kiprah Budi Utomo, kesadaran kolektif dan modernisasi pergerakan di Nusanatara semakin menjamur. Beberapa di antaranya: Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, Penerbitan Al-Munir di padang, Pesantren Al-Mujahidin yang menjadi embrio NWDI-NBDI di Lombok, dan lain-lain. Pergerakan yang simultan, massif, dan terorganisasi di seluruh Nusantara membidani kekuatan raksasa yang secara cepat mampu mencabik-cabik kekuasaan imprealis. Atas berkat Rahmat Alloh Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur anak-anak Nusanatara, akhirnya Indonesia sampailah pada saat yang membahagiakan, yaitu kemerdekaan 17 Agustus 1945. 

Fakta-fakta ini kemudian menginspirasi para nasionalis, termasuk Soewardi Suryaningrat atau Ki Hajar Dewantara untuk mengukuhkan berdirinya Budi Utomo sebagai Hari Kebangkitan Nasional pada peringatan milad Budi Utomo Pertama di Istana Kepresidenan Yogyakarta tanggal 20 Mei 1948 dan dihadiri langsung oleh Presiden Ir Soekarno. 

Secara sadar atau tidak, pengambilan diksi kata Kebangkitan Nasional sebagai sebutan peristiwa lahirnya pergerakan modern anak-anak Nusantara yang ditandai dengan lahirnya Budi Utomo adalah sebuah keberkahan. Menururt pakar, kata Kebangkitan, jika disetarakan dengan kata dalam Bahasa Arab menjadi Nahdlatul. Kata ini merupakan isim masdar dari kata “nahdla” yang berarti Qiyam (rising) atau dalam Bahasa Indonesia “bangkit”. Lebih lanjut, para pakar juga menyatakan bahwa isim masdar lain dari kata “nahdla” adalah “nuhudi” Dalam hal penamaan badan atau organisasi, para pakar sepakat memilih  kata Nahdla (Nahdlatul). Argumentasinya adalah karena Nahdla (Nahdlatul) merupakan isim marrah yang berarti sebuah peristiwa itu terjadi hanya sekali karena sangat luar biasa. Jadi Nahdlatul itu artinya sekali bangkit dan bertahan selamanya. Walaupun demikian jika terjadi “gesekan”, itu hanya menunjukkan sifat makhluk yang dengan izin Alloh nantinya akan bisa dilewati dan berujung indah.

Para ahli berpendapat bahwa kata Nasional dalam Bahasa Arab  setara juga dengan al-Wathan. Dalam wikepedia dinyatakan bahwa Al-Wathan berarti al-Jannah sehingga kata “Hubbul Wathan minal Iman berarti cinta surge sebagain dari iman. Selanjutnya, al-Wathan diartikan pula sebagai tanah air. Dengan demikian Kebangkitan Nasional setara dengan Term Nahdlatul Wathan yang berarti Sebuah pergerakan nasionalisme atau pergerakan yang mengantar menuju surga.

Sedemikian hebat dan komprehensifnya spirit Kebangkitan Nasional sehingga meyakinkan kita untuk bisa merefleksinya dalam segala momentum dan perintiwa, termasuk keadaan luar biasa. Sebut saja dalam keadaan darurat kesehatan akibat Pandemi Covid 19. Kita sangat memerlukan sinergitas dan agenda-agenda yang terorganisasi tanpa perdebatan dan perselisihan dalam mengentasnya.  Jadi jika semangat atau spirit Kebangkitan Nasional kita refleksikan dalam penanganan Pandemi Covid 19, maka atas izin Alloh segalanya akan berujung indah. Wallohu’alamu.

Selamat Idul Fitri 1444 H


Selamat Idul Fitri 1444 H

 

Pendidikan

Hukum

Ekonomi