Filosofi Wabi Sabi dalam Merawat Warisan Nilai Pengajaran Hamzanwadi di Tengah Skeptisisme dan Hukum Sturgeon - www.okenews.net

Senin, 12 Mei 2025

Filosofi Wabi Sabi dalam Merawat Warisan Nilai Pengajaran Hamzanwadi di Tengah Skeptisisme dan Hukum Sturgeon

foto ilustrasi AI
Skeptisisme dalam kajian filsafat sebuah paham dalam epistemologi yang menyangsikan kenyataan yang diketahui baik ciri-ciri maupun eksistensinya. Sedang hukum sturgeon merupakan sebuah pepatah yang menyatakan: Sembilan puluh persen dari segala sesuatu adalah omong kosong. 

Fase awal perkembangan filsafat, skeptisisme menjadi semacam penomena yg mewarnai gaya berpikir para cerdik cendekiawan pada zaman yunani kuno.  Kebebasan berpikir dalam upaya melepaskan diri dari mitos, tahayul dan mite untuk menemukan kebenaran hakiki, justru melahirkan kelompok pemikir yang skeptis pada hakekat kebenaran itu sendiri.  

Kelompok ini disebut kaum sofis, salah satu tokohnya bernama Gorgias, dimana dia mengajukan tesis skeptis-nihilis yang menjadi postulat berpikirnya. 

Pertama: "tidak ada sesuatu yang ada". Pandangan ini didasarkan pada satu pemikiran sulitnya mengetahui hakekat segala sesuatu. Saking sulitnya, sebagai kulminasinya mereka menganggap segala sesuatu sesungguhnya tidak ada.  

Kedua: "jika sesuatu itu memang ada, maka ia tidak dapat di ketahui". Pandangan ini lahir dari pemikiran, bahwa instrumen memahami segala sesuatu adalah akal dan indra. Sementara diketahui akal dan indra memiliki keterbatasan. Sehingga instrumen tersebut tidak mungkin memperoleh kebenaran pengetahuan.

Ketiga: jika sesuatu itu dapat di ketahui  maka ia tdk dapat dikomunikasikan. Postulat yg ketiga ini pun dasarnya  sama, sebenarnya ini wujud skeptisisme terhadap kemampuan untuk menyampaikan informasi pada orang lain. Bisa karena keterbatasan perbendaharaan kata yang digunakan menyampaikan informasi ataupun karena instrumen untuk menerima informasi itu yang terbatas. Inilah dalil kelompok skeptisisme. 

Sementara di Era teknologi informasi yang penuh dengan algoritma  peretas otak saat ini. Terjadi yang namanya hukum Sturgeon. Sebuah analogi dari Nicholas yang menggambarkan internet sebagai dunia fiksi yang jauh dari kebenaran. Hukum sturgeon menyatakan: "sembilan puluh persen dari segala sesuatu adalah omong kosong". Banyak informasi yang beredar  merupakan hoax atau sudah di sunting sesuai kepentingan. 

Algoritma teknologi informasi memungkinkan seseorang untuk memanipulasi kebenaran, merekayasa fakta, mempengaruhi opini, mengaburkan bukti yang shaheh. Mencocok-cocokan sesuatu. Sekalipun faktanya tdk begitu. Inilah yang disebut "Bias konfirmasi" (Cocoklogi). 

Oleh karena itu, Nicholas juga menyebut era ini  sebagai era pasca kebenaran (post truth era). Sebuah istilah yang pertama digunakan oleh  Steve Tesich, seorang penulis Amerika-Serbia yang di tulis dalam sebuah artikel surat kabar The Nation pada 1992. (bbc.co.uk). 

Hukum Sturgeon dan bias konfirmasi yang menjadi indikator utama pasca kebenaran, merupakan salah satu bentuk skeptisisme era teknologi informasi.  Masyarakat sangsi dengan kebenaran pengetahuan yang di peroleh, sangsi dengan para pakar yg sejatinya punya otoritas memberi fatwa. Bahkan masyarakat juga mulai sangsi dengan warisan nilai pengajaran guru-gurunya. 

Sebagian besar pengetahuan/informasi dari teknologi informasi lebih banyak melahirkan distrust, melemahkan nilai-nilai tardisi sebagai abituren/santri. jangankan memesan anak cucu mewarisi organisasi NW/NWDI, menjaga adab pokok seperti: menghormati guru, berbakti pada orang tua, peduli sesama, berlaku jujur, menghidupkan majlis taklim, menjaga medrasah tetap lestari, menyekolahkan anak di madrasah. Mulai jarang terdengar ghirahnya. 

Yang paling memprihatinkan, kita masih menyaksikan prilaku tidak saling menjaga sesama muslim, sesama organisasi,sesama murid hamzanwadi. Banyak yang larut dalam prilaku orang munafik membuat fitnah untuk membunuh karakter guru-guru kita, adu domba, menghasut, saling ghibah meski kita tahu itu tdk pantas dilakukan. Orientasi umat yang berpegang pada kebenaran menjadi jargon yang sukar untuk didefinisikan. 

Untuk merawat berbagai nilai pengajaran Hamzanwadi di tengah kesemrawutan akhlak dan budi sebagai akibat perkembangan teknologi informasi menarik mencermati filosofi  Wabi Sabi. 

Wabi Sabi adalah sebuah seni warga jepang yang menawan, merasakan kebenaran dalam ketidaksempurnaan, menurunkan tempo, tanamkan bahwa semua bersifat sementara. Filosofi Wabi Sabi cara untuk menghadapi tantangan teknologi informasi, menemukan makna di luar matrealisme (Beth Kempton, 2019) 

Wabi Sabi merupakan cara menyikapi situasi merasakan dunia bukan semata-mata dengan pikiran logis tapi dengan perasaan dan dengan seluruh indra. Untuk meresapi betapa berharganya nilai-nilai kearifan sebagai santri yang di wariskan guru kita. Betapa penting madrasah-madrasah dalam mentransmisikan kebenaran, betapa penting tokoh-tokoh kita sebagai pemegang komando agar kehidupan lebih terorganisir, betapa bernilai konsep persatuan dan kesatuan sebagai warga organisasi,warga negara, bahkan sebagai bangsa.

Di ahir tulisan, Memperkuat karakter dan mental untuk menghadapi skeptisisme dan hukum sturgeon perlu lebih merasakan dan menginternalisasi nilai kebenaran yg kita yakini.  Kata kunci dari Wabii sabi adalah berpegang pada kebenaran, bertindak dalam ketenangan. (William Goerge Jordan, 2022). 

Kebenaran merupakan yang tertua dari semua perbuatan baik. Kebenaran mendahului manusia, ia ada sebelum manusia hidup untuk merasakan dan menerimanya. Saat kilauan kebenaran mulai redup oleh nalar skeptisisme. Wabi sabi mencoba menajamkan perasaan akal dan budi, dengan menurunkan tempo, berhenti sejenak untuk menikmati, merasakan dan menghayatinya.

Rapuhnya penghargaan terhadap warisan nilai pengajaran Hamzanwadi tdk bisa sepenuhnya menyalahkan teknologi informasi. Ia seumpama pisau, bagi dokter bedah pisau berguna untuk membedah pasien untuk mengobati penyakitnya, sedang bagi penjahat pisau digunakan untuk membunuh korbannya.

Jadi teknologi nformasi kita posisikan sebagai sarana membedah nilai-nilai yang berpotensi menjadi tempat tumbuhnya penyakit moral atau alat untuk memperindah kilauan kebenaran yg di wariskan para nabi/rasul, para ulama, guru-guru kita. semoga kita senantiasa mendapat taofiq hidayah mengamslksn kebaikan.. Amiin..

#Penulis: Dr. Lalu Parhanuddin, M.Pd (Wakil Dekan FIP Universitas Hamzanwadi) 

Bagikan artikel ini

Tambahkan Komentar Anda
Disqus comments