|
Sumber: Akun Youtube MK RI |
Okenews.net - Mahkamah Konstitusi (MK) mulai menyidangkan gugatan yang diajukan akademisi dan dosen Teguh Satya Bhakti, Rabu 18 Oktober 2023 di Gedung Sidang MK, Jakarta.
Sidang pembacaan materi gugatan, dipimpin Ketua Panel, M Guntur Hamzah didampingi dua hakim anggota, Enny Nurbaningsih dan Daniel Yusmic Foekh.
Teguh Satya Bhakti (TSB) hadir sebagai pemohon didampingi kuasa hukum Viktor Santoso Tandiasa, membacakan materi gugatan bergantian.
Dalam gugatan dan petitum yang dibacakan Viktor terungkap, TSB meminta MK untuk menyatakan sejumlah pasal dalam UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi bertentangan dengan UUD 1945 sebagai hukum tertinggi.
Secara eksplisit dalam gugatan tersebut, TSB merasa prihatin bahwa masih ada perbedaan penghargaan dan kesejahteraan bagi Dosen Perguruan Tinggi Negeri (PTN) dan Perguruan Tinggi Swasta (PTS).
Upaya yang dilakukan TSB tersebut mendapat apresiasi dari Hakim MK, Daniel Yusmic Foekh. "Saya merasa ini permohonan yang sangat mulia. Karena ada kesadaran dari warga negara yang mempunyai kesadaran memperjuangkan hak yang sama," kata Daniel dalam sidang yang disiarkan melalui akun YouTube MK RI, pada Rabu, 18 Oktober 2023.
Bahkan Daniel mengatakan seharusnya tidak hanya kesetaraan dosen PTS dan PTN saja yang menjadi keprihatinan bersama. Tapi juga kesenjangan bagi para guru di tingkat SD, SMP, dan SMA.
"Memang (gugatan) ini masih parsial, ini kan, masih dalam tingkat perguruan tinggi. Bagaimana dengan pendidikan dasar, menengah. Ini menjadi keprihatinan kita bersama," ungkap Daniel.
Menurut Daniel, apa pun hasilnya nanti, gugatan TSB telah menjadi sejarah bagi hukum ketatanegaraan Indonesia.
"Saya kira ini akan menjadi catatan sejarah di MK nanti. Terserah nanti disetujui atau tidak. Tetapi menurut saya ini permohonan yang mulia," ucap Daniel.
Apresiasi juga disampaikan oleh hakim MK lainnya, Guntur Hamzah. Dia menilai gugatan TSB itu hanya pintu masuk dan ada pesan lain yang akan dibuka lebih jauh.
"Setidaknya kami perlu tahu, sejatinya ini apa? Kalau ini, kan pintu masuk saja," kata Guntur Hamzah.
Guntur pun meminta TSB mengupas sedikit muasal gugatannya itu. Di hadapan majelis sidang MK, TSB menegaskan, saat ini ada sekitar 4.350 PTS di Indonesia dengan jumlah dosen 350 ribu hingga 400 ribu orang.
Ironinya, sebagian besar PTS masih memberikan gaji pokok bagi dosen yang sangat rendah, bahkan di bawah upah minimum regional (UMR).
"Kalau (PTS) di Jabodetabek mungkin gajo dosen sudah sejahtera, tapi bagaimana di daerah lain, Jatim, Jateng, apalagi di Indonesia Timur, masih banyak yang gaji dosen dibawah UMR," katanya.
Ia memaparkan, alokasi dana pendidikan nasional totalnya bisa mencapai Rp620 Triliun jika benar-benar 20 persen dari APBN.
"Jika saja negara memberi subsidi Rp1 Miliar untuk tiap PTS, sebagaimana UU Desa, maka totalnya cuma Rp4.3 Triliun, negara nggak akan bangkrut yang mulia. Pertanyaannya selama ini kemana dana Rp620 Triliun itu?. Selama ini kita abai, kita hanya dibebankan akreditasi kampus, sertifikadi dosen yang menyibukkan, sementara hak-hak dasar dosen diabaikan," tegasnya.
Padahal, papar TSB, hal ini hanya masalah good will penyelenggara negara saja, baik pemerintah maupun legislatif.
"Ini hanya masalah good will saja yang mulia. Selama ini legislatif pun tidak peduli, mereka memandang PTS ini lembaga nirlaba yang mencari keuntungan dari banyaknya mahasiswa, sementara mahasiswa membebankan biaya ke orangtua. Ini kan kasihan masyarakat kita yang mulia," ujarnya.
Sementara dalam petitum gugatannya, kuasa hukum TSB, Viktor Santoso Tandiasa mengatakan, TSB meminta agar MK mengabulkan gugatan pemohon. Menetapkan bahwa pasal 7 ayat 3 dan pasal 89ayat 1 UU 12 2012 tentang Pendidikan Tinggi bertentangan dengan pasal 1 ayat 3 serta pasal 28 ayat 1 UU Dikti, serta bertentangan dengan UUD 45 sebagai hukum tertinggi.
Ketika memberikan nasihat, Hakim MK Enny Nurbaningsih menyatakan, yang dipersoalkan dalam gugatan TSB adalah masalah kesenjangan kesejahteraan antara dosen PTN dan dosen PTS. Ia menilai ini persoalan yang sudah cukup lama.
"Adanya kesenjangan ini persoalan cukup lama. UU Guru dan UU Dosen sudah mengarah ke kesenjangan ini. Tapi disini ada kesenjangan dosen PTN dan PTS, dosen yang PNS dan Swasta. Intinya masalah kesenjangan gaji pokok. Ada kerugian hak konsional warga negara," katanya.
Enny meminta TSB sebagai pemohon setta kuasa hukumnya untuk menyiapkan bahan dan data untuk sidang selanjutnya.
Profile TSB Dibuka MK
Menariknya dalam sidang perdana gugatan TSB di MK, profil TSB pun dibuka hakim MK. Hakim Enny Nurbaningsih menanyakan Teguh Satya Bhakti (TSB) yang dulunya PNS dan berprofesi sebagai Hakim, dan kini menjadi dosen di sebuah PTS di Jakarta.
Menjawab hal itu, TSB menyatakan dirinya sudah mengundurkan diri dari PNS sekaligus Hakim sejak 2022, karena memutuskan ikhtiar sebagai caleg DPR RI.
"Saya sudah mengundurkan diri yang mulia, saya memutuskan nyaleg seperti pak Mahfud MD. Di partai (Hanura) koalisinya pak Mahfud," katanya.
Dijumpai usai sidang di MK, TSB berharap rekan-rekan sesama dosen lain di seluruh Indonesia bergerak dan ikut bergabung dalam gugatannya itu. Dia mengajak rekan-rekan dosen perguruan tinggi swasta untuk bergabung bersama menjadi pihak menggugat untuk kebaikan bersama.
"Yang nantinya semakin baik kesejahteraan kami otomatis kami semakin giat bekerja dalam mencerdaskan kehidupan bangsa sehingga kualitas pendidikan yang diterima mahasiswa itu menjadi juga semakin lebih baik daripada yang sebelumnya," kata TSB.
Diberitakan sebelumnya, Teguh Satya Bhakti (TSB), menggugat UU Pendidikan Tinggi ke Mahkamah Konstitusi (MK). Teguh berharap gaji dosen disamakan, baik untuk kampus swasta atau pun Perguruan Tinggi Negeri (PTN).
TSB menyerahkan kasus itu kepada pengacaranya, Viktor Santoso Tandiasa, Harseto Setyadi Rajah, Rustina Haryati, dan Nur Rizqi Khafifah.
Gugatan dilakukan karena terjadinya perlakuan yang berbeda terhadap dalam lingkup profesi dosen. Di mana sebagai dosen Perguruan Tinggi Swasta (PTS), pengaturan upah mengikuti besaran UMK dan UU Ketenagakerjaan.
Hal itu berbeda-beda penetapan besaran gaji pokoknya di setiap daerah. Sementara terhadap dosen pada PTN memiliki pengaturan terhadap besaran upah yang sama dengan mengacu pada Peraturan Pemerintah No 15 Tahun 2019 tentang Peraturan Gaji Pegawai Negeri Sipil.
"Artinya ada perlakuan yang tidak sama terhadap profesi dosen yang dialami oleh pemohon di mana sebagai dosen padaPTS menjadi tidak ada jaminan terhadap besaran upah yang sama di setiap daerah karena terhadap dosen swasta tidak memiliki aturan yang seragam sebagaimana aturan terhadap dosen PNS sebagaimana diatur pada PP 15/2019," beber Viktor.
Viktor menegaskan pendidikan merupakan salah satu aspek penting dalam suatu bangsa. Karena pendidikan dapat mencerdaskan kehidupan bangsa dan ini merupakan salah satu tujuan dan cita-cita dari bangsa Indonesia, yang telah tercantum dalam alinea keempat pembukaan UUD 1945.
Untuk mewujudkan dari cita-cita bangsa ini, maka pemerintah dapat menjalankannya dengan membuat peraturan untuk mengatur pengelolaan, penyelengaraan pendidikan, selain itu masyarakat juga mempunyai kewajiban yang dapat diterapkan melalui pendirian dan penyelenggaraan Perguruan Tinggi Swasta," ungkap Viktor.