ASURANSI PENDIDIKAN UNTUK ASN, TNI, DAN POLRI “Strategi Reformasi Kesejahteraan Aparatur dan Investasi SDM Nasional”
Latar Belakang dan Jastifikasi Akademik
Biaya pendidikan tinggi di Indonesia terus mengalami kenaikan signifikan, rata-rata 7– 10 persen per tahun (BPS, 2024), melampaui inflasi umum. Uang pangkal di perguruan tinggi negeri jalur mandiri bisa mencapai Rp25–100 juta, sedangkan di perguruan tinggi swasta favorit lebih tinggi lagi. Tanpa instrumen perlindungan yang memadai, tekanan finansial ini akan terus membebani aparatur negara. Kajian Bank Dunia (2019) menegaskan bahwa kesejahteraan yang memadai berkorelasi positif dengan rendahnya risiko penyalahgunaan wewenang.
Ide dan gagasan ini lahir dari rangkaian pengalaman dan pengamatan langsung. Diskusi rutin dengan seorang sahabat yang merupakan anggota Polri membuka mata bahwa banyak aparatur negara baik ASN, TNI, maupun Polri menghadapi kesulitan besar membiayai pendidikan anak, khususnya di tingkat perguruan tinggi. Apalagi paska lahirnya UU yang mengatur tentang PTN-BH, BLU yang memungkinkan pemberian otonomi yang lebih besar kepada Lembaga Pendidikan khususnya Perguruan Tinggi untuk mengelola sumber pembiayaanya secara mandiri. Meski tujuannya untuk memberikan kemungkinan terjadinya subsidi silang, tetapi praktik dilapangan justru sebaliknya, beberapa kasus di PT tertentu dijadikan sebagai ruang untuk menarik Uang pangkal (IPI) dan UKT yang sangat tinggi dan cendrung tidak masuk akal.
Biaya pangkal yang tinggi dan Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang terus merangkak naik menjadi beban berat, apalagi bagi mereka yang memiliki lebih dari satu orang anak yang kuliah bersamaan. Tekanan ini tidak hanya memengaruhi kondisi ekonomi keluarga, tetapi juga berpotensi mengganggu fokus kerja dan, dalam kasus tertentu, menjadi pemicu perilaku koruptif.
Meski ada opsi lain dengan adanya tawaran produk asuransi pendidikan dari beberapa BUMN dan perusahaan asuransi swasta, sering kali tidak sejalan antara promosi awal dengan realisasi manfaatnya. Tidak jarang proses pencairan klaim atau pembayaran manfaat pendidikan berjalan lambat atau rumit, sehingga mengurangi rasa percaya masyarakat terhadap skema perlindungan yang ada. Hal ini menunjukkan perlunya sebuah model asuransi pendidikan yang lebih transparan, konsisten, dan benar-benar berpihak pada peserta.
Apalagi setelah menonton Vidio yang dibagikan oleh, Bro Pahrudin di satu WAG Internal Prodi Link Podccast “Akbar Faizal Uncensored” yang membahas alokasi 20 persen anggaran pendidikan nasional. Judulnya menarik “Menggugat Sri Mulyani “Belokan” Anggaran Pendidikan. Kita Akhirnya Menjadi Bangsa Terbelakang”. Saya semakin terkejut, dan makin tergerak untuk menjadikan ini sebuah tulisan untuk kemudian saya bagikan supaya bisa dibaca oleh banyak orang, paling tidak sebagai bagian dari proses sharing dan edukasi Bersama.
Berdasarkan tayangan perbandingan data peserta didik/mahasiswa yang bersekolah pada sekolah formal yang dikelola di dua Kementerian (Kementrian Dikdasmen dengan jumlah siswa 53,17 juta siswa mendapatkan alokasi 33,5 Triliun, sementara Kemendiktisaintek dengan 8,9 juta mahasiwa mendapatkan alokasi anggaran sebesar 57,7 triliun. Sehingga kalau di jumlahkan secara keseluruhan Total Jumlah alokasi Anggaran untuk membiayai sektor Pendidikan formal di dua kementerian dengan total jumlah siswa dan mahasiswa 62,07 juta orang adalah Rp. 91,2 Triliun.
Kalau di rata-ratakan per siswa/mahasisa mendapatkan alokasi anggaran sebesar Rp. 1,47 juta per orang per tahun. Angka ini kalau dibandingkan dengan jumlah alokasi anggaran untuk membiayai sekolah kedinasan yang di kelola oleh beberapa Lembaga dan Kementerian lain di luar Kementerian Pendidikan mendapatkan alokasi anggaran sebesar Rp. 104, 5 Triliun hanya untuk membiayai siswa/mahasiswa sebesar 13.000 orang, sehingga jumlah rata-rata biaya yang diberikan kepada mereka setiap tahun sebesar Rp.8,03 Milyar.
Ketimpangan ini menimbulkan pertanyaan serius, seberapa besar dampak Pendidikan Kedinasan terhadap kinerja pemerintahan? Hingga saat ini, sulit menemukan bukti bahwa output pendidikan kedinasan benar-benar memberikan pengaruh signifikan pada kualitas birokrasi atau pelayanan publik. Justru sebaliknya, model pendidikan ini bersifat eksklusif, hanya dapat diakses oleh segelintir orang, dan berpotensi memperlebar jurang kesenjangan sosial. Proses seleksi yang seharusnya murni berdasarkan kompetensi pun kerap dikaburkan oleh praktik budaya koruptif, mulai dari “titipan” hingga pungutan liar yang merusak prinsip meritokrasi.
Sebagai solusi, Asuransi Pendidikan Aparatur diusulkan sebagai skema perlindungan sosial berbasis gotong royong. Konsep dimana, peserta menyisihkan 1–3 persen gaji pokok dan tunjangan kinerja setiap bulan, untuk di potong dan dikelola secara profesional oleh badan khusus. Dengan estimasi 5,3 juta peserta aktif dan iuran rata-rata Rp150 ribu, dana tahunan dapat mencapai Rp9,54 triliun, yang bisa diinvestasikan di instrumen aman seperti obligasi negara untuk menghasilkan tambahan imbal hasil.
Program ini bukan sekadar tunjangan tambahan, melainkan investasi strategis negara pada sumber daya manusianya sendiri, untuk menjamin pendidikan anak Aparatur Negara (ASN, TNI dan POLRI) tanpa beban finansial yang mencekik, sekaligus memperkuat integritas, loyalitas, dan produktivitas birokrasi. Selain itu, konsep ini paling tidak secara akademik bisa dijastifikasi melalui tiga hal: (1) Keadilan distribusi anggaran, mengoreksi ketimpangan alokasi antara mayoritas peserta didik dengan kelompok eksklusif pendidikan kedinasan; (2) Pembangunan SDM aparatur, menjamin masa depan anak-anak aparatur negara demi terciptanya generasi penerus yang berpendidikan dan berintegritas; (3) Pencegahan risiko sosial dan moral hazard, mengurangi tekanan finansial yang berpotensi memicu perilaku koruptif di lingkungan birokrasi. Baca lebih lanjut...? klik DOWNLOAD