Oleh: Amaq Pupu - Founder Repoq Literasi
Menjelang senja (Kamis, 20/11/2025), Repoq Literasi - Lombok Timur perlahan
berubah menjadi ruang yang lebih hangat dan hidup. Cahaya keemasan matahari
merayap melewati sela-sela pepohonan, memantulkan bayangan lembut di dinding
bambu yang sederhana. Di kejauhan, suara burung-burung yang bersiap pulang
terdengar samar, seolah menjadi musik pengantar bagi percakapan-percakapan
intelektual mengupas pengetahuan Sasak dalam konteks kekinian.
Di tengah suasana itu, tiga kandidat doktor;
seorang dari bidang Bimbingan Konseling yang sedang menyusun disertasi tentang
Konseling Remaja Berbasis Kebudayaan; seorang lagi dari Sosiologi, dan bidang pariwisata
yang saat ini sedang belajar di Australia. Datang dengan langkah yang pasti namun
tetap rendah hati. Ketiganya membawa aura akademik yang merayap perlahan,
seperti angin sore yang menyingkap lembaran-lembaran buku tua. Mereka tidak
sekadar hadir sebagai tamu, tetapi sebagai penjaga gagasan yang mencoba merawat
pengetahuan lokal agar tetap relevan.
Kehadiran kandidat doktor di Australia itu menambah
warna berbeda dari cakrawala global yang bertemu dengan akar budaya lokal.
Wawasan yang dibawa terasa seperti angin laut dari negeri jauh, memberi
perspektif segar pada diskusi tak terencana itu. Pada akhirnya saya merasakan
keadaan Repoq Literasi sore itu berbeda dari hari hari sebelumnya.
Kesederhanaan Repoq Literasi berubah menjadi
ruang ilmiah yang intim, tempat gagasan tentang budaya Sasak, bimbingan
konseling, sosiologi, dan pariwisata saling menjalin seperti anyaman
tradisional. Meski dengan tanpa aroma kopi, percakapan tumbuh dari serat-serat
kuno yang digali ulang hingga semangat kekinian yang ingin memaknai ulang
pengetahuan bangsa Sasak di tengah dunia yang terus bergerak.
Di bawah cahaya senja yang kian meredup, Repoq
Literasi menjadi pertemuan antara tradisi dan intelektualitas, antara masa lalu
dan masa depan, antara lokal dan global. Sore itu, Repoq Literasi bukan hanya
ruang diskusi—melainkan panggung kecil tempat ilmu, budaya, dan semangat
generasi pencari pengetahuan bertemu dalam keheningan yang syahdu.
Repoq Literasi dengan tanpa sengaja
menjadi sebuah forum intelektual yang
unik, lintas disiplin, dan sarat muatan kebudayaan. Kegiatan tersebut
mempertemukan dua kandidat doktor Bimbingan dan Konseling berbasis kebudayaan,
seorang kandidat doktor yang sedang menulis kearifan lokal etnis Sasak sebagai
pengutan karakter kebangsaan, serta seorang kandidat doktor bidang pariwisata dalam
satu ruang dialog bertema “Dari Serat Kuno ke Semangat Mengungkap Seperangkat
Pengetahuan Bangsa Sasak dalam Konteks Kekinian.”
Kegelisahan bersama muncul dari kesadaran bahwa serat kuno, lontar, dan manuskrip tradisional Sasak bukan hanya memuat nilai estetika atau religius, tetapi merupakan arsip pengetahuan kolektif, memotret cara berpikir, struktur sosial, sistem penyembuhan, moralitas, hingga mekanisme resolusi konflik masyarakat masa lampau. Serat-serat tersebut, seperti Serat Menak, Serat Puspa Krama, Serat Babad Lombok, Medang dan termasuk pula Anjarwali hingga teks-teks petuah lokal, menjadi pintu masuk memahami etos orang Sasak yang dengan kesabaran dan keteguhan serta penghormatan pada harmoni sosial.
Dalam diskusi tersebut, kandidat doktor Bimbingan
Konseling memaparkan bagaimana kearifan lokal itu dapat diterjemahkan menjadi
pendekatan konseling yang lebih kontekstual. Mereka menyoroti bahwa praktik
konseling modern sering kali mengabaikan bahasa simbolik yang hidup dalam
tradisi Sasak, padahal nilai-nilai dalam serat kuno dapat menjadi modal terapi
berbasis budaya. Mulai dari konsep keseimbangan batin, relasi antar individu,
hingga teknik penyembuhan tradisional yang sarat makna psikologis.
Sementara itu, kandidat yang saat ini mendalami
kearifan lokal etnis Sasak tersebut menghadirkan analisis serat kuno berfungsi
sebagai perangkat ideologi dan pengatur sosial. Ia menekankan bahwa teks-teks
tradisional tersebut telah membentuk social imaginary masyarakat Sasak,
dan di era kekinian, pemaknaan ulang terhadap serat itu dapat membantu menjawab
persoalan modern seperti perubahan nilai keluarga, urbanisasi,
dan krisis identitas generasi muda.
Kontributor lain, kandidat doktor bidang pariwisata
tersebut mengaitkan pengetahuan tradisional dalam serat kuno dengan strategi
pengembangan pariwisata berkelanjutan. Menurutnya, narasi budaya yang bersumber
dari manuskrip tua dapat diangkat menjadi bentuk interpretasi wisata budaya
yang lebih kuat, bukan sekadar atraksi permukaan. Ia menekankan pentingnya cultural
storytelling yang bersandar pada sumber otentik agar pariwisata tidak
tercerabut dari akar pengetahuannya.
Diskusi ini kemudian memunculkan gagasan bahwa
Sasak sesungguhnya memiliki “korpus pengetahuan” yang utuh—sebuah epistemic
heritage—yang dapat ditransformasikan menjadi sumber belajar, metode
penyuluhan, rekonstruksi sosial, serta penguatan sektor budaya dan pariwisata.
Sementara itu, bagi saya pribadi yang
kebetulan pernah belajar Tentang Bimbingan dan Konseling yang sangat suka dengan
segala hal yang berhubungan dengan Kebudayaan serta pernah dua kali menjadi
bagian dari Dinas Pariwisata Lombok Timur berpikir bahwa membaca serat kuno
bukanlah upaya romantik terhadap masa lalu, tetapi strategi merawat identitas,
menguatkan literasi budaya, dan menghadirkan pengetahuan lokal sebagai rujukan
dalam memecahkan persoalan modern, berpendapat bahwa hal itu menjadi medium
pengaplikasian Undang Undang No: 5 Tahun 2017 Tentang Pemajuan Kebudayaan yang
bagi saya, sebuah regulasi yang merupakan bukti nyata bahwa Negara sangat telat
menyadari pentingnya kebudayaan sebagai basis perencanaan pembangunan.
"Tapi lebih baik telat dari pada tidak sama sekali."
Diskusi tanpa sengaja dan tanpa tema itu, pada
akhirnya mengerucut pada satu kalimat sederhana yang menjadi predikat pada seorang individu yang memiliki seperangkat
pengetahuan berbasis spiritual yakni “Guru Lauq”. (Bersambung....)
.png)
